Gambar dalam Artikel hanya referensi yang dibuat menggunakan Situs AI

Daftar isi

Pahlawan Wanita Islam yang Mengubah Dunia

Daftar 31+ Pahlawan Wanita Islam yang Mengubah Dunia Khadijah binti Khuwailid Fatimah al-Zahra’ binti Muhammad Nusaiba binti Ka’ab al-Anshariyyah Aisy
Invite your friends to join as an Involve Partner & earn an RM5 bonus for each referral. The more friends you refer, the more rewards you stand to earn. It’s simple and hassle-free!

Pahlawan Wanita Islam yang Mengubah Dunia

Dalam sejarah Islam, peran pahlawan wanita sering kali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan dan penyebaran agama ini. Mereka, dengan dedikasi dan keteguhan hati, telah menunjukkan bahwa kontribusi wanita dalam lini masa Islam tidak hanya penting, tetapi juga transformatif. Mulai dari pendidikan hingga peperangan, dari penyuluhan agama hingga kebangkitan sosial, pahlawan wanita Islam telah mengukir jejak yang mendalam, sering kali melampaui batas gender dan ekspektasi masyarakat. Mereka tidak hanya berperan sebagai perawi hadits, pengajar, dan pejuang, tapi juga sebagai pelopor kesetaraan gender dalam Islam, membuktikan bahwa kekuatan dan pengaruh wanita tidak terbatas oleh zaman atau kultur.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami kisah-kisah inspiratif dari beberapa pahlawan wanita Islam yang paling berpengaruh, termasuk Khadijah binti Khuwailid, Fatimah al-Zahra’, Nusaiba binti Ka’ab al-Anshariyyah, Aisyah binti Abu Bakar, dan Fatimah al-Fihri, di antara lainnya. Mereka tidak hanya menjadi simbol keberanian dan kecakapan, tetapi juga cerminan dari berbagai aspek kehidupan seorang wanita muslim. Sosok-sosok seperti Rabi'ah al-'Adawiyyah dan Nana Asma'u menegaskan peranan wanita dalam spiritualitas dan pendidikan, sedangkan inovator seperti Fatimah al-Fihri menunjukkan kontribusi wanita dalam bidang ilmu pengetahuan dan pembangunan masyarakat. Dengan menjajaki kisah mereka, kita memiliki kesempatan untuk memahami lebih dalam tentang ragam peran serta pengaruh besar wanita dalam menjadikan dunia ini tempat yang lebih adil dan merata bagi semua.

Khadijah binti Khuwailid

Khadijah binti Khuwailid, seorang wanita yang dihormati dan berpengaruh, memainkan peran kunci dalam sejarah Islam. Sebagai istri pertama Nabi Muhammad SAW, dia tidak hanya mendukung suaminya secara pribadi dan emosional tetapi juga secara finansial dan spiritual dalam menyebarkan ajaran Islam.

Khadijah dikenal sebagai wanita yang saleh dan memiliki dedikasi tinggi terhadap agama. Ia adalah wanita pertama yang memeluk Islam dan selalu setia mendampingi Nabi Muhammad SAW dalam masa-masa awal dakwah yang penuh dengan tantangan. Dengan kekayaan dan pengaruhnya, Khadijah memberikan dukungan finansial yang signifikan untuk dakwah, membiayai perjalanan dan memberikan perlindungan kepada pengikut awal Islam.

Selain itu, Khadijah juga memberikan dukungan moral yang kuat kepada Nabi Muhammad SAW. Saat Nabi Muhammad mengalami ketakutan dan keraguan setelah menerima wahyu pertama, Khadijah dengan cepat memberikan kepercayaan dan keyakinan bahwa apa yang dialami suaminya adalah kebenaran. Ia meyakinkan Nabi bahwa pengalaman spiritualnya adalah dari Allah dan bukan tipuan.

Khadijah, dengan perannya yang luar biasa, tidak hanya sebagai pendukung tetapi juga sebagai penasihat, menunjukkan betapa pentingnya peran wanita dalam Islam. Pengorbanan dan dedikasinya menjadikan dia sebagai figur penting, yang perannya sering kali menjadi inspirasi bagi banyak wanita Muslim di seluruh dunia.

Fatimah al-Zahra’ binti Muhammad

Fatimah Az-Zahra, dikenal sebagai Fatimah binti Muhammad, merupakan sosok yang sangat dihormati dalam tradisi Islam, baik Sunni maupun Syiah. Dari kecil, ia tumbuh dalam kasih sayang kedua orang tuanya; ayahnya, Nabi Muhammad, sering memuji kecerdasannya dan kesalehannya, sementara ibunya, Khadijah, mendukung penuh misi kenabian suaminya.

Pada tahun 2 Hijriah, Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib, yang tidak hanya sepupu tetapi juga sahabat dekat Nabi Muhammad. Pernikahan ini memperkuat hubungan antara dua keluarga terdekat Nabi dan memiliki signifikansi besar dalam sejarah Islam.

Fatimah tidak hanya dikenal karena keberaniannya tetapi juga karena kepeduliannya terhadap kaum miskin. Ia sering membagikan makanan dan harta bendanya kepada mereka yang membutuhkan. Dalam tradisi Syiah, ia dianggap sebagai salah satu dari empat belas maksum, orang yang dijaga dari dosa, dan memainkan peran sentral dalam teologi dan ritual keagamaan.

Selain itu, Fatimah juga dikenal sebagai mujahidah yang turut serta dalam berbagai pertempuran, termasuk Pertempuran Uhud. Ia memberikan pengobatan, menyediakan logistik, dan bahkan secara langsung membantu di medan perang.

Fatimah wafat pada tanggal 3 Jumadil Akhir tahun 11 Hijriah, beberapa bulan setelah wafatnya Nabi Muhammad. Warisannya sangat kuat dan ia dihormati sebagai teladan kebajikan, keberanian, dan kesetiaan, terus menginspirasi umat Muslim di seluruh dunia.

Nusaiba binti Ka’ab al-Anshariyyah

Nusaibah binti Ka'ab Al-Anshariyyah, dikenal sebagai Ummu Imarah, adalah sosok yang agung dan pemberani dalam sejarah Islam. Ia terkenal karena keberaniannya dalam Perang Uhud, di mana ia melindungi Nabi Muhammad SAW dari serangan musuh dengan gigih. Nusaibah juga merupakan salah satu dari dua wanita yang bergabung dengan 70 laki-laki Anshar dalam Baiat Aqabah Kedua, menunjukkan komitmennya yang kuat terhadap Islam.

Dalam Perang Uhud, Nusaibah memulai tugasnya dengan menyediakan logistik dan perawatan medis, namun ketika situasi menjadi kritis, ia tidak ragu untuk mengambil senjata dan bergabung dalam pertempuran untuk melindungi Nabi Muhammad SAW. Ia menderita luka serius, namun tetap berjuang tanpa mengeluh. Nabi Muhammad SAW sendiri memberikan doa khusus untuknya dan anaknya, menunjukkan penghargaan atas keberanian dan pengorbanannya.

Selain keberaniannya, Nusaibah juga dikenal karena kebaikannya dan pengetahuan luasnya dalam berbagai bidang, termasuk ilmu kesehatan dan hadis. Ia tidak hanya berperang tetapi juga memainkan peran penting dalam menyediakan dukungan moral dan fisik bagi para pejuang lainnya.

Keberanian Nusaibah tidak hanya terbatas pada Perang Uhud; ia dan keluarganya juga aktif dalam peristiwa penting lainnya seperti Hudaibiyah, Khaibar, Hunain, dan Yamamah. Bahkan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, Nusaibah terus berjuang dalam menghadapi tantangan baru, termasuk pertempuran melawan Musailamah Al-Kadzdzab.

Kisah Nusaibah binti Ka'ab Al-Anshariyyah adalah sumber inspirasi yang menunjukkan peran penting wanita dalam sejarah Islam, tidak hanya sebagai pendukung tetapi juga sebagai pejuang yang tangguh dan berdedikasi.

Aisyah binti Abu Bakar

Aisyah binti Abu Bakar, lahir sekitar tahun 613 atau 614 Masehi, merupakan istri ketiga Nabi Muhammad SAW dan dikenal dengan gelar "Ibu orang-orang Mukmin" (أمّ المؤمنين ummul-mu'minīn). Di antara istri-istri Nabi, Aisyah adalah favorit beliau, yang sering menerima wahyu Qur'an hanya di tempat tidur miliknya. Aisyah, putri dari Abu Bakar, khalifah pertama, dikenal karena kecerdasannya dan banyak meriwayatkan hadits serta ilmu hukum Islam.

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dinikahi oleh Nabi Muhammad pada usia 6 atau 7 tahun dan mulai berumahtangga pada usia 9 tahun. Namun, terdapat perdebatan mengenai usia sebenarnya saat pernikahan, dengan beberapa sumber mengklaim bahwa dia berumur setidaknya 19 tahun. Namun, pendapat ini dibantah oleh ulama besar dan ahli hadits yang menegaskan kebenaran riwayat usia muda Aisyah berdasarkan sumber-sumber hadits yang terpercaya.

Aisyah juga terlibat dalam beberapa peristiwa penting, termasuk Perang Badar dan Uhud, yang menunjukkan bahwa usianya lebih dari 15 tahun pada saat itu. Selain itu, Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang masih gadis saat menikah, yang menjadikannya figur yang sangat dihormati dalam sejarah Islam. Aisyah terus berperan aktif dalam menyebarkan ajaran Islam bahkan setelah wafatnya Nabi Muhammad, dengan banyak hadits yang diriwayatkannya menjadi rujukan penting dalam studi Islam.

Asma’ binti Abu Bakar

Asma binti Abu Bakar, lahir pada tahun 595 Masehi, adalah putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan kakak dari Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW. Asma tidak hanya dikenal karena kedekatannya dengan keluarga Nabi tetapi juga karena keberaniannya yang luar biasa dan dedikasinya terhadap Islam. Sebagai salah satu wanita pertama yang memeluk Islam, ia mendapat julukan "Dzatun Nithaqain" yang berarti "perempuan yang memiliki dua selendang" karena peranannya dalam peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah.

Dalam peristiwa hijrah tersebut, Asma memainkan peran kunci dengan menyediakan dukungan logistik. Ia terkenal karena cerita di mana ia membagi ikat pinggangnya menjadi dua bagian untuk membantu mengikat bekal yang akan dibawa Nabi Muhammad SAW dan ayahnya, Abu Bakar, dalam perjalanan mereka. Keberaniannya tidak terbatas pada peristiwa hijrah saja; Asma juga terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah dan perang, menunjukkan keberaniannya di medan perang seperti dalam Perang Yarmuk.

Asma juga dikenal karena kedermawanannya, seringkali memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan tanpa menunggu untuk mengumpulkan banyak harta. Hal ini berbeda dengan pendekatan Aisyah yang lebih suka mengumpulkan terlebih dahulu sebelum berbagi. Keberaniannya dan kemurahan hatinya menjadikan Asma sumber inspirasi bagi banyak wanita Muslim, memperlihatkan bahwa wanita memiliki peran penting dan aktif dalam sejarah Islam.

Selain itu, Asma juga memiliki peran penting dalam pendidikan anaknya, Abdullah bin Zubair, yang kemudian menjadi salah satu pahlawan Islam. Asma mendidiknya dengan nilai-nilai keberanian dan keteguhan iman, yang sangat mempengaruhi peranannya dalam sejarah Islam. Kisah Asma binti Abu Bakar mengajarkan pentingnya keberanian, pengabdian, dan peran aktif wanita dalam membentuk masa depan umat Islam.

Ummu al-Darda’ Hujaima binti Uyayy al-Sughra

Ummu al-Darda' Hujaimah binti Uyayy al-Sughra, lahir di kabilah Washshab di Himyar, adalah seorang perawi hadis, guru, dan ahli hukum yang penting dalam sejarah Islam. Sejak kecil, ia telah dibesarkan oleh Abu Darda' yang memberikan pendidikan terbaik kepadanya berdasarkan ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Hujaimah dikenal memiliki hafalan Al-Qur'an yang kuat dan keakuratan bacaan yang luar biasa, yang ia pelajari langsung dari para sahabat.

Setelah dewasa, Ummu al-Darda' menjadi salah satu murid kesayangan Aisyah binti Abu Bakar dan juga belajar dari sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Salman al-Farisi dan Abu Hurairah. Ia kemudian menikah dengan Abu Darda' Uwaimir bin Zaid dan terus mengambil ilmu darinya serta dari sahabat-sahabat lainnya. Ummu al-Darda' juga sangat bersemangat menyebarkan ilmu yang telah dipelajarinya, baik dalam majelis ilmu maupun kepada orang-orang yang mendatanginya, sehingga namanya dikenal luas di kalangan ulama dan ahli fiqh masa tabi'in.

Di Damaskus, ia mengajar di Masjid Agung dan mentransmisikan hadis kepada ratusan siswa, banyak dari mereka kemudian menjadi ulama terkemuka dan bahkan khalifah seperti 'Abd al-Malik bin Marwan. Ummu al-Darda' dikenal tidak hanya sebagai seorang perawi hadis, tetapi juga sebagai sosok yang memiliki peran besar dalam pendidikan dan penyebaran ilmu dalam Islam, terutama di kalangan perempuan.

Rabi‘ah al-‘Adawiyyah

Rabi'ah al-'Adawiyah, seorang perempuan sufi yang terkenal dari Bashrah, Iraq, dianggap sebagai pelopor dalam aliran tasawuf yang mengutamakan cinta ilahi, Hubbul Illahiyah. Semasa hidupnya, Rabi'ah mengajarkan pentingnya mencintai Allah SWT melebihi segala yang ada, mengesampingkan urusan dunia yang bersifat sementara dan fana. Dia menghabiskan hidupnya hanya untuk "mencintai Allah", tanpa ada ruang di hatinya untuk mencintai manusia, khususnya lelaki sebagai pendamping hidupnya.

Rabi'ah juga dikenal karena konsep al-Mahabbah yang ia gagas, yang sangat mendorong motivasi umat Islam dalam ibadah untuk selalu lillahi ta'ala, dengan menyeimbangkan hablum minallah dan mestinya jangan sampai mengurangi interaksi hablum minannas. Cinta tanpa pamrih ini, menurut Rabi'ah, adalah seagung-agungnya kewajiban keimanan dan semulia-mulia dasar keimanan.

Selain itu, Rabi'ah menunjukkan kecintaannya yang mendalam terhadap Allah melalui syair-syair yang ia tulis, yang banyak diinspirasi oleh para ulama. Salah satu syairnya yang terkenal adalah: "Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, haramkanlah aku daripadanya. Namun jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, jangan palingkan wajah-Mu dariku".

Rabi'ah juga terkenal karena pandangannya tentang cinta yang lebih tinggi, yang tidak terikat oleh janji surga atau ancaman neraka, melainkan cinta yang murni kepada Allah SWT. Hal ini menimbulkan revolusi rohaniyah pada masa sesudahnya, mengubah cara pandang umat Islam terhadap ibadah dan cinta kepada Allah.

Fatimah al-Fihri

Fatimah al-Fihri, lahir pada tahun 800 M di Kairouan, Tunisia, adalah seorang wanita visioner yang mendirikan Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko. Setelah berhijrah bersama keluarganya dari Tunisia, Fatimah menggunakan warisan yang diterimanya untuk mewujudkan impian pendidikan dan keagamaan yang luar biasa.

Dikenal juga dengan julukan "Ummu Al-Banin" yang berarti ibu dari anak-anak, Fatimah memilih untuk mewakafkan hartanya yang berlimpah untuk kepentingan umat. Pada tahun 859 M, ia memulai pembangunan Masjid Al-Qarawiyyin, yang kemudian berkembang menjadi universitas pada tahun 1963. Selama proses pembangunan, Fatimah menjalankan puasa, menunjukkan dedikasinya yang mendalam terhadap proyek tersebut.

Universitas Al-Qarawiyyin, yang didirikan oleh Fatimah, dikenal sebagai salah satu universitas tertua di dunia yang masih beroperasi. Lebih dari sekadar tempat ibadah, universitas ini menjadi pusat ilmu pengetahuan yang menarik sarjana dan cendekiawan dari berbagai penjuru dunia, berkontribusi besar pada penyebaran ilmu di Maroko dan dunia Islam.

Sutayta al-Mahamali

Sutayta Al-Mahamali, lahir di Baghdad pada era Dinasti Abbasiyah, adalah ilmuwan matematika yang memberikan kontribusi besar dalam pengembangan matematika, khususnya dalam ilmu faraid (waris) dan aljabar. Kecerdasannya dalam menemukan solusi untuk persamaan angka dan memecahkan rumus-rumus sulit menjadikan dia sebagai referensi penting bagi para ilmuwan yang datang setelahnya.

Dikenal karena keahliannya yang luas, Sutayta tidak hanya fokus pada matematika tetapi juga menguasai sastra Arab, hadis, dan hukum. Pengaruhnya di bidang pendidikan sangat signifikan, dimana ia dikenal sebagai salah satu perempuan terpelajar yang menginspirasi banyak cendekiawan di zamannya.

Sutayta menerima pendidikan yang intensif dari ayahnya, Abu Abdullah Al Hussein, yang juga seorang hakim terkemuka. Keluarganya, yang banyak berkecimpung dalam ilmu pengetahuan dan hukum, memberikan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan intelektualnya.

Selain itu, Sutayata juga memberikan kontribusi pada teori aritmatika dan sistem persamaan. Pendekatannya yang inovatif dalam memecahkan persamaan kubik dan masalah-masalah waris menunjukkan kemampuan luar biasa yang ia miliki. Karya-karyanya di bidang matematika menjadi rujukan penting bagi para ahli matematika berikutnya, seperti Ibnu al-Haytham dan Umar Khayyam.

Sutayta Al-Mahamali wafat pada tahun 987 M, namun warisannya sebagai ilmuwan perempuan yang cemerlang terus menginspirasi banyak generasi setelahnya. Kehidupannya mengajarkan bahwa kecerdasan dan dedikasi dalam pendidikan dapat membawa perubahan besar, terlepas dari gender atau latar belakang.

Maryam Al-Ijliya

Maryam Al-Ijliya, yang juga dikenal sebagai Maryam Al-Astrolabi, adalah seorang ilmuwan Muslim yang hidup pada abad ke-10 di Aleppo, Suriah. Ia terkenal sebagai astronom wanita satu-satunya dari zaman kejayaan Islam, yang memberikan kontribusi besar dalam pengembangan astrolab, sebuah instrumen klasik dalam astronomi yang digunakan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan waktu dan posisi matahari serta bintang.

Kemampuan Maryam dalam mengembangkan astrolab sangat dipengaruhi oleh ayahnya, Al-Ijliyy, yang merupakan seorang insinyur pembuat astrolab terkenal. Ayahnya belajar dan bekerja di bawah bimbingan Muhammad bin Abdillah Bastulus, seorang pembuat astrolab terkenal di Baghdad. Dari ayahnya, Maryam memperoleh pengetahuan mendalam tentang astrolab dan mulai membuat versi astrolabnya sendiri dengan perhitungan matematis yang rumit dan presisi.

Desain astrolab yang dibuat oleh Maryam sangat rumit dan inovatif, mengesankan Sayf Al-Dawla, Emir Aleppo, yang kemudian mempekerjakannya di pengadilannya. Maryam tidak hanya membuat astrolab untuk keperluan astronomi tetapi juga mengembangkan teknik navigasi dan ketepatan waktu yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Muslim, khususnya dalam menentukan arah kiblat dan waktu shalat.

Kontribusi Maryam di bidang astronomi juga diakui secara internasional ketika asteroid sabuk utama 7060 Al-'Ijliya dinamai menurut namanya. Kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak generasi, termasuk dalam novel fiksi ilmiah 'Binti' oleh Nnedi Okorafor, di mana tokoh utamanya terinspirasi dari Maryam Al-Ijliya.

Rufaida Al-Aslamia

Rufaida Al-Aslamia, yang lahir sekitar tahun 597 M di Yatsrib (sekarang Madinah), dikenal sebagai perawat pertama dalam sejarah Islam dan telah memberikan inspirasi besar dalam dunia medis hingga saat ini. Sebagai anak dari Sa'ad Al Aslami, seorang dokter terkemuka di Madinah, Rufaida memperoleh pengetahuan kesehatan dan keperawatan dari ayahnya sejak usia muda. Ia dikenal dengan beberapa nama, termasuk Ku'aibah binti Sa'ad dan Rumaitsah Al Ansariyah, tetapi Rufaidah adalah nama yang paling umum dikenal.

Rufaida memulai praktik keperawatan di medan pertempuran, menjadi sukarelawan dalam peristiwa penting seperti Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar. Nabi Muhammad SAW sendiri yang mengizinkan Rufaida untuk bertugas sebagai perawat sukarelawan dan memerintahkan prajurit yang terluka untuk mendapatkan perawatan di tenda kesehatannya. Di antara pasien yang pernah dirawatnya adalah Sa'ad Ibnu Mu'aath.

Selain kemampuannya dalam medis dan keperawatan, Rufaida juga dikenal karena kepribadiannya yang baik hati, empati tinggi, dan berkepribadian luhur. Ia menerapkan prinsip bahwa manusia membutuhkan perawatan dan cinta, yang sangat membantu dalam pemulihan pasien. Rufaida tidak hanya bekerja sendiri tetapi juga dibantu oleh beberapa wanita lainnya seperti Ummu Atiyyah, Ummu Sulaym, dan Hamnah binti Jahsh.

Kontribusinya tidak terbatas pada perawatan medis saja; Rufaida juga berperan dalam mengembangkan praktik keperawatan dengan menggabungkan tradisi lokal dan ajaran Islam. Ia membersihkan dan mengubah tempat pengobatan ayahnya menjadi tempat yang higienis dan nyaman, menghilangkan penggunaan jampi-jampi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Rufaida juga mendirikan sekolah keperawatan pertama di dunia Islam dan rumah sakit lapangan yang bisa dipindahkan sesuai kebutuhan selama peperangan.

Penghargaan atas dedikasinya termasuk pemberian sebuah kalung indah dari Rasulullah SAW, yang diberikan karena peranannya dalam mengorganisir perawat dan memberikan peran aktif bagi wanita dalam perang suci. Kisah dan dedikasi Rufaida Al-Aslamia terus menjadi sumber inspirasi bagi banyak generasi dan menunjukkan pentingnya peran wanita dalam bidang kesehatan dan medis.

Anousheh Ansari

Anousheh Ansari, lahir di Iran pada tahun 1966, adalah wanita Muslim pertama yang melakukan perjalanan ke luar angkasa. Pada tahun 1984, Ansari beremigrasi ke Amerika Serikat dan melanjutkan pendidikannya, memperoleh gelar sarjana di bidang teknik elektronik dan komputer dari Universitas George Mason pada tahun 1988, serta gelar master di bidang teknik elektro dari Universitas George Washington pada tahun 1988.

Pada tahun 1993, bersama suaminya Hamid Ansari dan saudara iparnya, Amir Ansari, ia mendirikan Telecom Technologies, Inc. Perusahaan ini kemudian diakuisisi oleh Sonus Networks, Inc. pada tahun 2000 dalam sebuah kesepakatan senilai sekitar US$550 juta. Keberhasilan ini memungkinkan Ansari dan saudara iparnya untuk berkontribusi jutaan dolar kepada X Prize Foundation, yang mengelola kompetisi untuk mendorong inovasi yang bermanfaat bagi umat manusia. Kontribusi keluarga Ansari digunakan untuk membiayai Ansari X Prize, yang memberikan hadiah uang tunai sebesar US$10 juta untuk perusahaan swasta pertama yang meluncurkan pesawat ruang angkasa berawak yang dapat digunakan kembali ke luar angkasa.

Pada tahun 2006, Ansari menggantikan Enomoto Daisuke, seorang pengusaha Jepang yang didiskualifikasi karena alasan medis, sebagai awak pesawat Soyuz TMA-9 dan lepas landas ke luar angkasa pada 18 September. Selama delapan hari, dia melakukan serangkaian percobaan tentang fisiologi manusia untuk Badan Antariksa Eropa, diwawancarai dari luar angkasa untuk acara astronomi di televisi nasional Iran, dan menerbitkan tulisan serta menjawab pertanyaan di blognya saat berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

Setelah kembali ke Bumi, Ansari terus bekerja sebagai pengusaha dan wiraswasta. Pada tahun 2006, dia ikut mendirikan Prodea Systems, sebuah perusahaan Internet of Things (IoT), dan menjabat sebagai CEO pertama perusahaan tersebut. Ansari juga menulis otobiografi "My Dream of Stars: From Daughter of Iran to Space Pioneer", yang menceritakan perjalanan hidupnya dari Iran hingga menjadi pelopor di luar angkasa.

Dr Bina Shaheen Siddiqui

Profesor Dr. Bina Shaheen Siddiqui, lahir pada tanggal 02 Februari 1948 di Pakistan, merupakan ilmuwan berpengaruh di bidang kimia organik dengan gelar PhD dari Universitas Karachi. Beliau dikenal karena kontribusinya yang signifikan dalam penelitian pertanian dan obat-obatan, termasuk pengembangan konstituen antikanker dan pestisida biologis. Dengan lebih dari 250 makalah penelitian yang telah dipublikasikan, Profesor Bina memegang 12 paten dan telah mendapatkan pengakuan global melalui penghargaan seperti Khwarizmi International Award dan Salam Prize dalam Kimia.

Profesor Bina juga berperan sebagai Profesor di HEJ Research Institute of Chemistry, di mana ia terus menginspirasi banyak ilmuwan muda. Kiprahnya di dunia ilmu pengetahuan juga telah memasukkannya dalam daftar 500 tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia. Meskipun berasal dari keluarga sederhana, dedikasi dan keahliannya telah membawa dampak luas, tidak hanya di Pakistan tetapi juga di kancah internasional.

Zainab binti Ahmad

Zainab binti Ahmad dikenal sebagai salah satu cendekiawan Islam terkemuka di abad keempat belas, berbasis di Damaskus dan mengikuti mazhab Hanbali. Ia memperoleh sejumlah ijazah di berbagai bidang, terutama hadis, dan mengajarkan kitab-kitab penting seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Al-Muwaththa' karya Malik bin Anas, Syama'il dari al-Tirmidzi, dan Syarh Ma'ani al-Athar dari al-Tahawi. Murid-muridnya termasuk tokoh-tokoh penting seperti Ibn Batuta, Taj al-Din al-Subki, dan al-Dhahabi, serta namanya muncul di beberapa tulisan Ibn Hajar al-Asqalani. Keilmuannya yang luas diakui sehingga banyak tokoh terkemuka mempelajari ilmu darinya.

Selain keahliannya dalam hadis, Zainab juga menerima ijazah dari beberapa nama besar ulama pada abad keempat belas Hijriah, termasuk Abu al-Abbas Ahmad bin Butoyi, Abdullah Husin bin Ahmad, dan Muhammad bin Abdul Qawi dari sekolah Mesir. Kecenderungan Zainab untuk meningkatkan ilmunya sangat tinggi, sehingga ia belajar dari berbagai sumber dan akhirnya membagikan pengetahuannya sebagai seorang guru. Ini menunjukkan kewajiban seorang Muslim untuk menyebarkan ilmu setelah memahaminya.

Zainab juga diakui sebagai ahli sastra dan ilmu pengetahuan, dengan kontribusi yang berdampak hingga hari ini. Kehidupannya mengajarkan bahwa perubahan diri dan mindset adalah kunci untuk memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat. Kisahnya menginspirasi banyak orang, menunjukkan bahwa fokus pada pembelajaran dan pengajaran adalah penting dalam Islam.

Asy-Syifa’ binti Al-Harits

Asy-Syifa’ binti Al-Harits, dikenal sebagai cendekiawan muslim perempuan yang menjadi guru wanita pertama dalam Islam. Sebelum kedatangan Islam, beliau sudah terkenal sebagai guru membaca dan menulis. Setelah memeluk Islam, Asy-Syifa’ terus memberikan pengajaran kepada wanita-wanita muslimah, termasuk Hafshah binti Umar bin Khattab, istri Nabi Muhammad SAW.

Beliau adalah salah satu dari muhajirin angkatan pertama dan termasuk wanita yang berbai'at kepada Rasulullah. Asy-Syifa’ juga dikenal cerdas dan utama, menjadi ulama di antara ulama dalam Islam. Beliau menikah dengan Abu Hatsmah bin Hudzaifah bin Adi dan dikaruniai seorang anak bernama Sulaiman bin Abi Hatsmah.

Selain keahliannya dalam pendidikan, Asy-Syifa’ juga ahli dalam ruqyah, yaitu pengobatan tradisional dengan doa-doa. Ia dikenal sebagai ahli ruqyah sejak masa Jahiliyah, dan setelah masuk Islam, ia mendemonstrasikan kemampuannya kepada Rasulullah. Nabi Muhammad SAW meminta Asy-Syifa’ untuk mengajarkan ilmu ruqyah kepada Hafshah.

Asy-Syifa’ juga aktif dalam menyebarkan Islam dan memberikan nasihat kepada umat. Ia dihormati oleh tokoh-tokoh penting seperti Umar bin Khattab, yang sering meminta pendapatnya, terutama dalam urusan pasar. Asy-Syifa’ wafat pada tahun 20 Hijriyah, tetapi pengaruhnya sebagai pendidik dan cendekiawan muslim terus diingat dan dihormati hingga saat ini.

Kimiya Alizadeh dari Iran

Kimia Alizadeh, atlet taekwondo asal Iran, lahir pada 10 Juli 1998 dan telah mencatat sejarah dalam dunia olahraga. Pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016, ia memenangkan medali perunggu di kelas 57 kg, menjadikannya wanita Iran pertama yang memperoleh medali di Olimpiade. Sebelum itu, pada tahun 2014, Kimia meraih medali emas di Olimpiade Remaja Nanjing dalam kelas 63 kg putri. Keberhasilannya berlanjut dengan perak dalam Kejuaraan Taekwondo Dunia 2017 di kelas 62 kg, mengalahkan Ruth Gbagbi dari Pantai Gading.

Pada Januari 2020, Kimia mengumumkan kepindahannya ke Eropa dan keinginannya untuk tidak mewakili Iran di Olimpiade Tokyo 2020. Ia menyatakan telah meninggalkan Iran karena merasa dijadikan sebagai alat propaganda dan mengalami perlakuan buruk serta seksis oleh para pejabat politik. Dalam sebuah ungkapan yang kuat, Kimia menyebut dirinya sebagai "satu dari jutaan perempuan yang tertindas di Iran," menyoroti pengalaman pahit yang ia alami, termasuk eksploitasi kesuksesannya untuk tujuan politik dan komentar seksis dari pejabat.

Marwa Al-Sabouni

Marwa Al-Sabouni, arsitek berbakat asal Suriah, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang arsitektur melalui karyanya yang mendalam dan berpengaruh. Lahir pada 18 September 1981 di Homs, Suriah, Al-Sabouni memegang gelar sarjana dan doktor dalam arsitektur. Karya pertamanya, The Battle for Home: The Vision of a Young Architect in Syria, terpilih oleh The Guardian sebagai salah satu buku arsitektur top pada tahun 2016 dan menggambarkan visinya tentang pembangunan kembali Homs pasca konflik.

Al-Sabouni telah diakui secara internasional, termasuk menjadi salah satu dari 100 Wanita BBC pada tahun 2019 dan penerima Prince Claus Award pada tahun 2018 atas proposalnya mengenai pembangunan kembali distrik Baba Amr di Homs. Keterlibatannya dalam revitalisasi perkotaan juga terlihat dalam proyeknya untuk Kompetisi Revitalisasi Perumahan Massal UN-Habitat, yang memberinya reputasi internasional.

Selain itu, Marwa bersama suaminya, Ghassan Jansiz, telah membangun portal www.arch-news.net, yang merupakan situs berita arsitektur pertama dalam bahasa Arab. Meskipun menghadapi tantangan berat akibat konflik sipil yang berkepanjangan sejak 2011, yang mengakibatkan kerusakan fisik sebesar 60% di Homs, Al-Sabouni memilih untuk tetap tinggal di kota tersebut, menunjukkan dedikasinya yang kuat terhadap tanah kelahirannya.

Komitmen Al-Sabouni terhadap pembangunan kembali dan perdamaian melalui arsitektur tercermin dalam pendapatnya bahwa arsitektur berperan penting dalam menjaga kohesi sosial dan bisa menjadi landasan dalam memulihkan perdamaian di Homs. Keberaniannya dalam menghadapi kondisi sulit dan dedikasinya terhadap pembangunan kembali Homs menjadikan Marwa Al-Sabouni sosok yang inspiratif dan berpengaruh dalam dunia arsitektur global.

Rida Al Tubuly

Rida al-Tubuly adalah aktivis kesetaraan gender dan ahli farmakologi dari Libya yang berperan penting dalam mempromosikan peran wanita dalam proses perdamaian dan pembangunan. Sebagai salah satu pendiri LSM Together We Build It, ia berupaya mengurangi ketidaksetaraan gender dan memperjuangkan keterlibatan wanita dalam penyelesaian konflik. Rida juga merupakan guru besar farmakologi di Universitas Tripoli dan memiliki gelar LLM dalam HAM internasional dari Universitas Essex serta PhD dalam farmakologi klinis dari Imperial College, London.

Melalui LSM Together We Build It, yang didirikan pada tahun 2011 bersama tiga mahasiswi, Rida al-Tubuly telah mendorong pemerintah Libya untuk menerapkan Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB. Resolusi ini menekankan pentingnya peran wanita dalam pembangunan dan pemeliharaan perdamaian di zona perang. Rida al-Tubuly juga aktif berbicara di forum internasional, termasuk di Dewan Keamanan PBB, mengenai situasi wanita Libya, seringkali mengkritik pemimpin yang mengucilkan wanita dari kehidupan sosial dan politik.

Keseriusannya dalam memperjuangkan hak-hak wanita terlihat dari komitmennya yang tidak goyah meskipun menghadapi ancaman pembunuhan dan fitnah sebagai mata-mata dan pengkhianat di negaranya sendiri. Ini menunjukkan dedikasinya yang kuat terhadap penyebab kesetaraan gender dan pemberdayaan wanita. Rida al-Tubuly terus menantang pandangan bahwa wanita Libya tidak memenuhi syarat untuk posisi tanggung jawab, dengan berargumen bahwa keterlibatan wanita adalah kunci untuk stabilitas dan perdamaian di Libya.

Zarifa Ghafari

Zarifa Ghafari, lahir di Paktia pada tahun 1992, adalah salah satu dari dua wali kota perempuan pertama di Afghanistan. Di usia muda 26 tahun, Zarifa diangkat menjadi wali kota untuk daerah Maidan Wardak, sebuah wilayah yang cukup dipengaruhi oleh Taliban. Pada tahun 2020, ia menerima penghargaan International Women of Courage dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, mengakui keberaniannya dalam menghadapi tantangan signifikan.

Pada awal tahun 2020, Zarifa mengalami penyerangan dengan senjata api di dekat mobilnya saat berada di Kabul, menunjukkan risiko tinggi yang dihadapinya sebagai pemimpin perempuan di wilayah tersebut. Setelah kejatuhan Kabul ke tangan Taliban pada Agustus 2021, Zarifa terpaksa meninggalkan Afganistan untuk mencari perlindungan di Jerman. Keputusan ini diambil setelah situasi keamanan di Kabul menjadi sangat genting, termasuk serangan terhadap rumahnya yang mengakibatkan luka pada petugas keamanan.

Dari Jerman, Zarifa terus menyuarakan krisis yang terjadi di Afganistan dan berupaya menarik perhatian pemimpin dunia tentang kondisi masyarakat di bawah penguasaan Taliban. Meskipun ada klaim dari Taliban tentang inklusivitas terhadap perempuan, Zarifa skeptis terhadap realisasi janji-janji tersebut.

Jawahir Roble dari Somalia

Jawahir Roble, yang sering dipanggil JJ, adalah wasit berhijab pertama di Inggris dan telah menjadi inspirasi bagi banyak wanita muslimah di seluruh dunia. Lahir di Somalia, JJ beremigrasi ke Inggris pada usia 10 tahun, melarikan diri dari konflik yang menghancurkan negaranya. Awalnya, dia tidak bisa berbicara bahasa Inggris, namun sepak bola menjadi jembatan yang membantunya berintegrasi dan berkomunikasi dengan teman-temannya.

Roble mengembangkan kecintaannya terhadap sepak bola sejak kecil di Somalia dan terus bermain setelah tiba di Inggris. Meskipun awalnya orang tuanya memiliki pandangan tradisional tentang peran wanita dan berharap dia mengambil jalur karier yang lebih konvensional, Roble memilih untuk mengejar hasratnya dalam sepak bola. Dia tidak hanya berhasil sebagai wasit tetapi juga meraih pengakuan tinggi, termasuk MBE (Member of the Most Excellent Order of the British Empire) untuk dedikasinya terhadap olahraga dan pekerjaan amal.

Pengalaman Roble menunjukkan bahwa olahraga, seperti sepak bola, dapat menjadi alat yang kuat untuk integrasi sosial dan pemberdayaan perempuan, terlepas dari latar belakang budaya atau hambatan bahasa. Kisahnya menginspirasi banyak wanita muda untuk tidak hanya mengejar impian mereka tetapi juga untuk berpartisipasi dalam olahraga dan aktivitas yang sebelumnya dianggap tabu atau tidak sesuai untuk mereka.

Malahayati dari Aceh

Malahayati, dikenal sebagai Laksamana Malahayati, adalah pahlawan nasional dari Aceh yang terkenal karena kepemimpinannya dalam memimpin pasukan laut melawan Belanda pada awal abad ke-16. Ia lahir pada 1 Januari 1550 di Aceh Besar dan memiliki latar belakang keluarga militer yang kuat, dengan ayah dan kakeknya yang juga menjabat sebagai panglima angkatan laut Kesultanan Aceh.

Sejak dini, Malahayati dididik di lingkungan istana dan mengikuti pendidikan militer di Akademi Baitul Maqdis, yang mempersiapkannya menjadi pemimpin militer yang tangguh. Pada usia 35 tahun, ia dipercaya menjabat sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil.

Malahayati terkenal karena membentuk pasukan Inong Balee, sebuah unit militer yang seluruh anggotanya adalah perempuan, kebanyakan dari mereka adalah janda-janda pejuang yang gugur dalam pertempuran. Pasukan ini terlibat dalam berbagai peperangan melawan Portugis dan Belanda, dan dikenal karena keberanian serta kemampuan tempur yang luar biasa.

Salah satu momen paling heroik dalam karier Malahayati adalah ketika ia berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam duel satu lawan satu pada pertempuran di laut, yang memperkuat posisinya sebagai laksamana yang disegani. Keberhasilan ini tidak hanya meningkatkan moral pasukan Aceh tetapi juga menunjukkan kapabilitas dan kekuatan wanita dalam kepemimpinan militer.

Malahayati wafat pada tahun 1615 dan dimakamkan di dekat bentengnya di Desa Lamreh, Krueng Raya. Atas jasa-jasanya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 9 November 2017. Kisah Malahayati terus menginspirasi banyak orang, terutama dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan menunjukkan bahwa wanita memiliki kapasitas yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang militer dan kepemimpinan.

Nana Asma’u

Nana Asma'u, lahir pada tahun 1793 di Degel, merupakan putri dari pendiri Kekhalifahan Sokoto, Usman dan Fodio, dan saudari tiri dari Sultan Sokoto kedua, Muhammad Belo. Dengan pendidikan yang kuat dalam ilmu tafsir, ia sangat menghargai pendidikan universal, memberikan kesempatan belajar tanpa memandang suku, jenis kelamin, atau agama.

Sebagai seorang penyair, guru, dan tokoh penting dalam pendidikan Islam, Nana Asma'u memiliki peran besar dalam pendidikan agama perempuan di Sokoto. Pada sekitar tahun 1830, ia mendirikan 'jaji', sebuah kelompok guru perempuan yang berkelana di penjuru Kekhalifahan untuk mendidik perempuan di rumah mereka. Para 'jaji' menggunakan karya tulis Nana Asma'u dan ulama sufi lainnya untuk melatih kelompok perempuan terpelajar yang diberi nama 'ƴan-taru', yang berarti "mereka yang berkumpul bersama, persaudaraan perempuan".

Nana Asma'u juga memberikan 'malfa', sebuah topi dan simbol seremonial yang sebelumnya digunakan oleh pendeta perempuan dalam kepercayaan animisme suku Hausa di Gobir, yang diikat dengan turban merah, kepada setiap 'jaji'. Karya-karyanya yang masih bertahan berkaitan dengan pendidikan Islam menunjukkan dedikasinya dalam memajukan pendidikan bagi perempuan.

Dikenal sebagai pelopor feminisme modern di Afrika, pengaruh Nana Asma'u terhadap pendidikan wanita sangat besar, sehingga banyak organisasi wanita Islam, sekolah, dan balai pertemuan di Nigeria dinamai menurut namanya. Dia mempelajari semua klasik Islam, menghafal Al-Qur'an, dan fasih dalam empat bahasa, yaitu Arab, Fula, Hausa, dan Tamacheq Tuareg, menunjukkan keahliannya yang luas dan dedikasinya terhadap pengetahuan.

Selain itu, puisi-puisinya yang membahas kebenaran ilahi, wali wanita, Sufi, Muhammad, dan pertempuran jihad, menempatkan penekanan kuat pada pemimpin perempuan dan hak-hak perempuan dalam cita-cita komunitas Sunnah dan hukum Islam.

Siti Walidah Dahlan

Siti Walidah Dahlan, juga dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, memainkan peran penting dalam memajukan pendidikan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia. Melalui pendekatan yang inovatif, beliau mendirikan asrama dan sekolah untuk putri-putri dari berbagai daerah di Indonesia, memastikan mereka mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Ini menunjukkan komitmen beliau tidak hanya dalam teori, tetapi juga dalam tindakan nyata yang berdampak luas pada masyarakat.

Selain itu, Siti Walidah juga aktif dalam mengadakan kursus dan pengajian agama Islam, serta mempelopori pemberantasan buta huruf di kalangan orang dewasa. Keberhasilannya dalam mengintegrasikan pendidikan formal dengan nilai-nilai Islam membantu meningkatkan peran serta wanita dalam proses pembangunan dan pemberdayaan diri.

Beliau juga berperan dalam membangun organisasi Aisyiyah, yang menjadi wadah pencerah bagi perempuan di tengah konteks sosial keagamaan yang sering membatasi ruang gerak wanita. Organisasi ini tidak hanya fokus pada pendidikan tetapi juga pada kegiatan sosial, membantu perempuan untuk lebih aktif dan mandiri.

Siti Walidah diakui karena kepemimpinannya yang inspiratif dan kemampuannya dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Melalui berbagai program dan kegiatan yang beliau inisiasi, Siti Walidah telah meninggalkan warisan yang kuat dan berkelanjutan dalam sejarah pendidikan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia.

Shirin Ebadi

Shirin Ebadi, lahir pada 21 Juni 1947 di Hamadan, Iran, adalah pengacara dan aktivis hak asasi manusia yang terkenal. Pada 10 Oktober 2003, ia dianugerahi Penghargaan Perdamaian Nobel karena upayanya dalam memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia, khususnya untuk wanita dan anak-anak. Sebagai orang Iran pertama dan Muslimah pertama yang menerima penghargaan ini, Ebadi diakui atas keberaniannya yang tidak pernah tunduk pada ancaman terhadap dirinya.

Dalam konferensi pers setelah pengumuman Nobel, Ebadi menegaskan penolakannya terhadap segala bentuk intervensi asing dalam urusan Iran, menegaskan bahwa perjuangan hak asasi di Iran adalah upaya rakyat Iran itu sendiri. Ia juga membela program nuklir Iran dengan alasan ekonomi dan kebanggaan nasional.

Selain itu, Shirin Ebadi juga menghadapi tantangan dari pemerintahannya sendiri. Pada suatu kesempatan, piagam dan diploma Nobel Perdamaian miliknya disita oleh pemerintah Iran, yang kemudian dikembalikan setelah tekanan internasional. Insiden ini menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh Ebadi dalam memperjuangkan hak asasi manusia di negaranya.

Shirin Ebadi terus menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan, tidak hanya sebagai pengacara dan aktivis, tetapi juga sebagai simbol perjuangan untuk demokrasi dan hak asasi manusia di tingkat global.

Malala Yousafzai

Malala Yousafzai, lahir pada 12 Juli 1997 di Mingora, Pakistan, adalah simbol perjuangan untuk hak pendidikan perempuan. Sejak usia muda, Malala didorong oleh ayahnya, Ziauddin Yousafzai, untuk mengejar pendidikan. Ayahnya, yang mengelola Khushal Girls High School and College, memberikan kebebasan pada Malala untuk belajar dan berbicara mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan, yang menjadi dasar bagi Malala dalam memperjuangkan kesetaraan pendidikan.

Pada tahun 2008, ketika Taliban menguasai Lembah Swat, mereka melarang pendidikan untuk perempuan dan menutup sekolah-sekolah. Malala, yang saat itu baru berusia 11 tahun, tidak tinggal diam. Ia mulai menulis blog untuk BBC dengan nama samaran Gul Makai, mengungkapkan kehidupan di bawah Taliban dan mempertanyakan larangan pendidikan untuk perempuan. Keberaniannya dalam berbicara terbuka melawan Taliban membuatnya menjadi target. Pada 9 Oktober 2012, Malala ditembak oleh Taliban saat dalam perjalanan pulang dari sekolah.

Setelah insiden penembakan tersebut, Malala dibawa ke Birmingham, Inggris, untuk perawatan medis dan pemulihan. Keberaniannya tidak hanya mendapatkan perhatian di Pakistan tapi juga di seluruh dunia, memicu solidaritas internasional terhadap perjuangan hak pendidikan perempuan. Pada tahun 2014, Malala dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian, menjadi penerima termuda dalam sejarah.

Malala melanjutkan pendidikannya di Universitas Oxford, memperoleh gelar dalam bidang Philosophy, Politics, and Economics. Meskipun telah banyak mencapai, Malala terus aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, melalui Malala Fund, sebuah organisasi yang didirikannya untuk mendukung pendidikan perempuan di seluruh dunia.

Ameenah Gurib-Fakim

Ameenah Gurib-Fakim, terlahir pada 17 Oktober 1959, merupakan ilmuwan keanekaragaman hayati dan politikus yang menorehkan sejarah sebagai Presiden Mauritius ke-6 dari tahun 2015 hingga 2018. Beliau adalah wanita pertama yang terpilih sebagai presiden di Mauritius dan salah satu dari sedikit wanita yang pernah menjabat sebagai Kepala Negara di dunia, bergabung dalam sejarah bersama tokoh-tokoh seperti Ratu Elizabeth II dan Monique Ohsan Bellepeau.

Dengan latar belakang akademis yang kuat, Gurib-Fakim memperoleh gelar Ph.D. di bidang kimia dari University of Surrey dan Exeter University, Inggris. Setelah kembali ke Mauritius, ia menghadapi keterbatasan fasilitas yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan risetnya di bidang kimia organik. Namun, hal ini tidak menghentikan langkahnya; ia beralih fokus ke ethnopharmacology, mempelajari penggunaan tanaman lokal untuk terapi dan penyembuhan.

Sebagai pengakuan atas dedikasinya dalam sains, Gurib-Fakim dianugerahi penghargaan L'Oréal-UNESCO For Women in Science pada tahun 2007. Keahliannya dan totalitas dalam riset membuahkan pendirian CIDP Research & Innovation, pusat riset yang fokus pada penggunaan tumbuhan untuk kosmetik, nutrisi, dan terapi kesehatan.

Gurib-Fakim juga memainkan peran penting dalam politik Mauritius. Meskipun beliau tidak pernah memiliki ambisi politik, situasi politik memilihnya. Koalisi politik Alliance Lepep, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Anerood Jugnauth, memilihnya karena kredibilitas dan prestasi akademisnya. Ini menandai momen penting di mana warga Mauritius memilih pemimpin berdasarkan prestasi dan ide daripada kasta atau agama.

Di tengah tantangan perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati, Gurib-Fakim menekankan pentingnya riset ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah global. Beliau berbicara di forum internasional mengenai pentingnya jembatan antara riset ilmiah dan lingkungan hidup untuk kesejahteraan manusia.

Ameenah Gurib-Fakim tidak hanya mencatat sejarah sebagai presiden wanita pertama di Mauritius tetapi juga sebagai ilmuwan yang berdedikasi, yang karyanya menginspirasi banyak orang, khususnya wanita muda yang berminat dalam sains.

Dalia Mogahed

Dalia Mogahed, seorang perempuan berhijab asal Mesir, telah mencapai kedudukan penting di Amerika Serikat sebagai penasihat Presiden Barack Obama dalam isu kerjasama keyakinan dan lingkungan. Beliau merupakan sosok pertama yang menjabat posisi ini di Gedung Putih dan dikenal karena latar belakangnya sebagai peneliti senior di lembaga independen Gallup for Islamic Studies.

Mogahed menarik perhatian internasional ketika beliau dipilih berdasarkan keahliannya, bukan afiliasi politik, untuk menghadirkan suara dari komunitas Muslim melalui riset ilmiah yang mendalam. Beliau berperan penting dalam mengubah pandangan tentang Muslim dan Islam di kancah global, dengan menekankan bahwa kebanyakan Muslim mendukung demokrasi, keadilan gender, dan menolak kekerasan.

Karirnya di Gallup Center sebagai Direktur Eksekutif membuktikan kemampuannya dalam menyediakan data dan analisis yang akurat tentang pandangan umum kaum Muslim, yang sangat berharga dalam pembuatan kebijakan di Gedung Putih. Ini menunjukkan bagaimana penelitian yang berbasis data dapat mempengaruhi kebijakan publik secara signifikan.

Selain itu, Mogahed juga dikenal karena kepemimpinannya di Mogahed Consulting, sebuah lembaga yang berfokus pada isu-isu komunitas Muslim dan Timur Tengah. Prestasinya diakui secara global, termasuk menjadi Pemimpin Pemuda Global oleh Forum Ekonomi Dunia dan tercatat sebagai salah satu perempuan Arab paling berpengaruh oleh Majalah Arabian Business.

Melalui peran dan pencapaiannya, Dalia Mogahed terus memberikan inspirasi bahwa kesuksesan dapat diraih dengan mempertahankan identitas dan integritas, membuktikan bahwa hijab bukan penghalang untuk berkontribusi pada tingkat tertinggi dalam masyarakat dan politik.

Dr Hayat Sindi

Dr. Hayat Sindi, lahir di Mekkah, Arab Saudi pada tahun 1967, merupakan salah satu ilmuwan paling berpengaruh di dunia Arab dalam bidang bioteknologi dan kesehatan. Dengan keberanian dan tekad yang kuat, Dr. Sindi berhasil menempuh pendidikan tinggi di bidang farmakologi di Universitas Cambridge dan melanjutkan penelitian pascadoktoral di Universitas Harvard. Keahliannya dalam riset medis telah membawa revolusi dalam teknologi diagnostik medis, termasuk pengembangan alat diagnostik portabel yang murah dan efektif untuk penyakit seperti diabetes dan hepatitis, terutama di daerah terpencil.

Selain kontribusi dalam penelitian, Dr. Sindi juga dikenal karena dedikasinya dalam mempromosikan pendidikan dan inovasi. Ia mendirikan i2 Institute untuk mendukung inovator muda dan pengusaha dalam mengembangkan ide-ide kreatif mereka dan mengatasi hambatan sosial serta ekonomi. Dr. Sindi percaya bahwa masa depan dunia Arab sangat bergantung pada pemberdayaan generasi muda melalui pendidikan dan inovasi.

Sebagai tokoh yang diakui secara internasional, Dr. Sindi telah menerima banyak penghargaan dan diangkat menjadi penasihat di berbagai organisasi global, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karyanya telah memberi inspirasi kepada banyak wanita muda di Timur Tengah untuk mengejar karier dalam sains dan teknologi, membuktikan bahwa gender atau latar belakang budaya tidak seharusnya menjadi penghalang untuk berkontribusi dalam ilmu pengetahuan.

Lubna dari Kordoba

Lubna dari Kordoba, seorang perempuan berbakat dari Andalusia, dikenal sebagai pustakawan, juru tulis, dan matematikawan yang berpengaruh pada masa pemerintahan Khalifah Abdurrahman III dari Bani Umayah. Keahliannya dalam menyalin dan memahami teks-teks penting, termasuk karya Euclid dan Archimedes, menjadikannya sosok penting dalam dunia ilmu pengetahuan saat itu [Ibn Bashkuwal, kitab al-Silla (Cairo, 2008), Vol. 2: 324].

Selain itu, Lubna juga aktif mengajar matematika di jalanan Cordoba, menginspirasi anak-anak dengan tabel perkalian yang diajarkan. Keahliannya tidak terbatas pada ilmu-ilmu eksak, ia juga dikenal sebagai penyair dan ahli gramatika. Lubna tidak hanya memperkaya perpustakaan dengan koleksi buku yang mencapai lebih dari 500 ribu judul tetapi juga memimpin inisiatif pembangunan perpustakaan terkenal, Madinah az-Zahra, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan [Ibn Bashkuwal, kitab al-Silla (Cairo, 2008), Vol. 2: 324].

Melalui perjalanan ke berbagai kota besar seperti Kairo, Damaskus, dan Baghdad, Lubna bertanggung jawab memperoleh dan menyalin naskah-naskah penting, memperkaya koleksi perpustakaan yang dipimpinnya. Perpustakaan tersebut dikenal sebagai salah satu yang terbesar di Eropa pada waktu itu, hanya dapat dikalahkan oleh perpustakaan di Baghdad, menunjukkan betapa besar pengaruh dan dedikasi Lubna terhadap penyebaran ilmu pengetahuan [Ibn Bashkuwal, kitab al-Silla (Cairo, 2008), Vol. 2: 324].

Fatimah binti Muhammad bin Ahmad al-Samarqand

Fatimah binti Muhammad bin Ahmad al-Samarqand, yang berasal dari Samarkand, Uzbekistan, merupakan salah satu ulama perempuan yang sangat dihormati dalam sejarah Islam. Sejak kecil, Fatimah telah belajar mengaji pada ayahnya, Alauddin Muhammad bin Ahmad as-Samarqandi, hingga menguasai berbagai ilmu dan menghafal kitab ayahnya, At-Tuhfah al-Fuqaha.

Fatimah dikenal sebagai ulama perempuan ('allamah, faqihah) yang ahli dalam fiqh. Ia seringkali diminta oleh ayahnya untuk menjawab fatwa yang diminta oleh masyarakat, sementara sang ayah mendengarkan jawabannya. Imam Abd al-Hayy al-Laknawi dalam karyanya, Al-Fawaid al-Bahiyyah, menggambarkan Fatimah sebagai seorang perempuan yang sangat alim dan menggelar pengajian umum yang dihadiri oleh banyak ulama besar dan tokoh masyarakat.

Selain mengaji, Fatimah juga menulis sejumlah buku dalam bidang fiqh dan hadits, yang menjadi rujukan penting bagi para ulama dan masyarakat umum. Keahliannya dalam ilmu agama dan kecantikannya yang menawan membuat banyak raja dari wilayah Turki dan Arab berdatangan untuk meminangnya, namun tidak ada satu pun yang diterima.

Kisah cinta antara Fatimah dan Alauddin al-Kasani, santri ayahnya, juga terkenal. Ayahnya, Syekh Alauddin Muhammad, menawarkan putrinya kepada Alauddin al-Kasani dengan syarat ia harus menyelesaikan syarh atas kitab At-Tuhfah al-Fuqaha. Al-Kasani berhasil menyelesaikan karyanya, Badai' ash-Shanai' fi Tartib asy-Syarai', yang terdiri dari tujuh jilid, setiap jilidnya 450 halaman, dan kitab tersebut menjadi mahar untuk mempersunting Fatimah.

Fatimah wafat pada tahun 581 H/1185 M di Kota Aleppo, Suriah, dan dimakamkan di pemakaman orang shalih. Warisan ilmunya terus menginspirasi banyak generasi selanjutnya, menunjukkan pentingnya peran wanita dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan agama.

Sayyida al-Hurra

Sayyida al-Hurra, lahir di Iberia, Spanyol pada tahun 1485, dikenal sebagai Ratu Bajak Laut Mediterania yang paling ditakuti pada abad 15 dan 16. Ayahnya, seorang kepala suku dari keluarga bangsawan, memberikan pendidikan terbaik kepada Sayyida, termasuk pelajaran dalam teologi, bahasa, dan matematika. Setelah Kerajaan Islam Granada ditaklukkan oleh Ferdinand dan Isabella, Sayyida yang baru berusia 7 tahun harus mengungsi bersama keluarganya ke Maroko.

Di Maroko, Sayyida menikah dengan Sultan al Mandri pada usia 16 tahun dan bersama-sama mereka bertekad melawan Portugis. Setelah kematian suaminya pada tahun 1515, Sayyida menjadi gubernur Tétouan, menggantikan posisi suaminya dan memperlihatkan kepemimpinan yang mengagumkan. Ia cerdas dalam memainkan taktik politik dan diplomasi dengan Spanyol serta Portugis, bahkan mendapat pujian dari Ratu Spanyol Isabella sebagai perempuan Andalusia yang kuat.

Sayyida al-Hurra kemudian menikah dengan Sultan Maroko, Ahmed al-Wattasi, dan menjalani takdirnya sebagai Ratu Maroko. Dengan dendam karena perebutan tanah airnya oleh Ferdinand dan Isabella, ia bersekutu dengan Barbarossa al Algeirs Kanselir Turki untuk menguasai jalur laut di Eropa dan Timur Tengah. Sepak terjangnya di Laut Mediterania menyulitkan Spanyol dan Portugis, mengukuhkan posisinya sebagai tokoh penting dalam sejarah maritim.

FAQs

  1. Siapa saja nama-nama wanita yang tercatat dalam Al Quran?
    Dalam Al Quran, beberapa wanita yang disebutkan antara lain adalah Hawa, istri Nuh dan Lut, anak-anak perempuan Lut, Sarah yang merupakan istri Nabi Ibrahim, Istri Aziz (Zulaykha) dan wanita sekelilingnya, ibu dan saudari Musa, istri Musa, serta Ratu Saba (Bilqis).
  2. Siapakah beberapa pahlawan Islam yang terkenal di Jawa Barat?
    Di Jawa Barat, beberapa pahlawan Islam yang terkenal meliputi K.H. Anwar Musaddad yang lahir di Garut, K.H. Yusuf Tauzirie yang memimpin pondok pesantren Cipari, K.H. Ahmad Sanusi, K.H. Zaenal Musthafa, dan K.H. Noer Ali.
  3. Siapa saja tokoh Islam terkemuka di Indonesia?
    Beberapa tokoh Islam terkemuka di Indonesia meliputi Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi.

Invite your friends to join as an Involve Partner & earn an RM5 bonus for each referral. The more friends you refer, the more rewards you stand to earn. It’s simple and hassle-free!

Posting Komentar

Involve Asia Publisher referral program (CPA)
Involve Asia Publisher referral program (CPA)