
Siti Khadijah, salah satu figur wanita paling berpengaruh dalam sejarah Islam, memiliki peran yang tak terbantahkan dalam perkembangan agama ini. Sebagai istri pertama Nabi Muhammad dan orang yang pertama kali menerima Islam, Khadijah bukan hanya seorang pendamping, tetapi juga investor dan pendukung utama dalam misi dakwah suaminya. Keberadaannya di Mekkah sebagai seorang pengusaha sukses dan anggota suku Quraisy yang terpandang menambah bobot pada kredibilitas pesan yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Artikel ini akan mengulas kehidupan Siti Khadijah, mulai dari latar belakang keluarganya hingga perannya yang vital dalam dakwah Islam. Kita akan menelusuri perjalanan hidupnya sebelum menikah dengan Nabi Muhammad, momen pertemuan mereka, dan bagaimana rumah tangga mereka menjadi teladan bagi umat Muslim. Selain itu, kita juga akan membahas keutamaan dan kemuliaan Siti Khadijah, serta dampak yang ia tinggalkan setelah wafatnya. Melalui kisah inspiratif ini, kita dapat memetik pelajaran tentang kecerdasan, kedermawanan, dan kemandirian seorang wanita Muslim.
Latar Belakang Keluarga Siti Khadijah
Kelahiran dan Masa Kecil
Siti Khadijah binti Khuwaylid lahir di Mekkah sekitar tahun 555 Masehi. Ia terlahir dalam keluarga terpandang dan kaya raya dari suku Quraisy. Sejak kecil, Khadijah dikenal sebagai anak yang cerdas dan berbakat dalam urusan bisnis. Meskipun terlahir dalam keluarga berada, Khadijah tidak tumbuh menjadi anak yang manja. Sebaliknya, ia memiliki semangat untuk belajar dan mengembangkan diri.
Keluarga Terpandang Quraisy
Khadijah berasal dari keluarga terhormat di kalangan suku Quraisy. Ayahnya, Khuwaylid ibn Asad, adalah seorang saudagar sukses dan pemimpin yang disegani di Mekkah. Sementara ibunya, Fatima bint Za'idah, merupakan anggota klan Amir ibn Luayy dari suku Quraisy dan sepupu ketiga dari ibu Nabi Muhammad. Latar belakang keluarga yang terpandang ini memberikan Khadijah posisi yang istimewa di masyarakat Mekkah.
Sebagai putri dari keluarga terkemuka, Khadijah mendapat julukan "Putri Quraisy" (Ameerat-Quraysh). Gelar ini menunjukkan betapa tingginya status sosial yang dimiliki keluarganya. Meskipun demikian, Khadijah tidak pernah menyombongkan diri atau memanfaatkan statusnya untuk kepentingan pribadi.
Pendidikan dan Karakter
Khadijah mendapatkan pendidikan terbaik yang tersedia pada masanya. Sebagai anak dari keluarga terpandang, ia memiliki akses ke berbagai sumber pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan yang diterimanya mencakup berbagai aspek, termasuk manajemen bisnis dan etika perdagangan.
Karakter Khadijah terbentuk sejak dini sebagai seorang yang cerdas, mandiri, dan memiliki integritas tinggi. Ia dikenal sebagai wanita yang suci di zamannya, ketika lingkungan sekitarnya sudah mulai rusak secara moral. Kecerdasan dan ketekunannya dalam belajar membuatnya mampu menguasai seluk-beluk perdagangan dengan sangat baik.
Salah satu aspek yang paling menonjol dari karakter Khadijah adalah kemandirian dan kecerdasannya dalam berbisnis. Setelah ayahnya meninggal, Khadijah mengambil alih bisnis keluarga dan berhasil mengembangkannya menjadi lebih besar. Ia memiliki banyak karyawan dan bahkan mempekerjakan agen khusus untuk mengelola kafilah dagangnya yang melakukan perjalanan ke berbagai kota.
Khadijah juga dikenal sebagai wanita yang dermawan dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Meskipun memiliki kekayaan melimpah, ia tidak segan untuk berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan. Karakternya yang mulia ini membuatnya dihormati tidak hanya karena status sosialnya, tetapi juga karena kepribadiannya yang luhur.
Kombinasi antara latar belakang keluarga yang terpandang, pendidikan yang baik, dan karakter yang mulia inilah yang membentuk Siti Khadijah menjadi sosok wanita yang luar biasa. Ia tidak hanya menjadi seorang pengusaha sukses, tetapi juga teladan bagi wanita Muslim sepanjang masa.
Kehidupan Siti Khadijah Sebelum Menikah dengan Nabi Muhammad
Siti Khadijah binti Khuwailid lahir di Mekkah pada tahun 68 sebelum Hijriah dalam keluarga yang mulia dan terhormat. Ia tumbuh menjadi wanita yang cerdas, teguh, dan berperangai luhur. Pada tahun 575 Masehi, Khadijah kehilangan ibunya, dan sepuluh tahun kemudian ayahnya juga meninggal dunia. Sepeninggal kedua orang tuanya, Khadijah dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaan keluarga.
Karir sebagai Pedagang Sukses
Khadijah memutuskan untuk tidak menjadi pengangguran dan mengambil alih bisnis keluarga. Ia membangun bisnisnya sendiri dan menjadi wanita yang sangat sukses. Khadijah memiliki separuh dari keseluruhan kafilah-kafilah dagang yang berasal dari Quraisy. Bisnisnya bahkan lebih besar dari seluruh perdagangan Quraisy yang digabungkan.
Khadijah memiliki cara berdagang yang unik. Ia tidak ikut serta langsung dalam perdagangan bersama kaumnya, melainkan memiliki karyawan khusus yang mengelola perdagangannya. Maysarah bertindak sebagai manajer utama, sementara Khadijah memantau segala urusan perdagangan dari kediamannya. Ketika ada masalah yang rumit, ia akan menyelesaikannya bersama keluarga besarnya.
Pernikahan Sebelumnya
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad, Khadijah telah menikah dua kali. Pernikahan pertamanya adalah dengan Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi, yang membuahkan dua orang anak bernama Halah dan Hindun. Setelah suami pertamanya meninggal, Khadijah menikah lagi dengan Atiq bin 'A'id bin Abdullah al-Makhzumi. Kedua suaminya meninggalkan harta dan jaringan perniagaan yang luas.
Meskipun ada sumber yang menyangkal bahwa Khadijah pernah menikah sebelum bertemu Nabi Muhammad , mayoritas sumber menyebutkan bahwa ia memang pernah menikah dua kali sebelumnya. Setelah kematian suami keduanya, Khadijah menjadi wanita terkaya di kalangan bangsa Quraisy.
Reputasi sebagai Al-Thahirah
Khadijah dikenal dengan julukan "at-Thahirah", yang berarti "yang bersih dan suci". Julukan ini diberikan oleh sesama bangsa Arab yang terkenal dengan kesombongan dan keangkuhannya sebagai laki-laki. Ini menunjukkan betapa tinggi reputasi Khadijah di mata masyarakat.
Selain itu, Khadijah juga dijuluki "Ratu Quraisy" dan "Ratu Mekkah" karena keberhasilannya dalam bisnis. Ia adalah wanita pertama dalam sejarah bangsa Arab yang diberi panggilan Ratu Mekkah dan dijuluki at-Thahirah. Khadijah dikenal karena kekayaannya dan reputasinya yang tanpa cacat.
Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah tetap rendah hati dan dermawan. Ia dikenal suka memberi makan dan pakaian kepada orang miskin, membantu kerabatnya secara finansial, dan menyediakan mas kawin untuk kerabat yang kurang mampu. Khadijah juga dikenal tidak menyembah berhala, yang tidak lazim untuk budaya Arab pra-Islam.
Pertemuan dan Pernikahan dengan Nabi Muhammad
Pertemuan Pertama
Pertemuan awal antara Siti Khadijah dan Nabi Muhammad terjadi dalam konteks bisnis. Khadijah, seorang pengusaha sukses dari suku Quraisy, mendengar tentang kejujuran dan kecakapan bisnis Muhammad yang masih muda. Terkesan dengan reputasinya sebagai "Sadiq" (jujur) dan "Amin" (terpercaya), Khadijah menawarkan Muhammad untuk bergabung dengan bisnis dagangnya.
Muhammad, yang saat itu membantu pamannya dalam perdagangan, menerima tawaran tersebut. Khadijah kemudian menugaskan Muhammad untuk memimpin kafilah dagangnya ke Suriah. Selama perjalanan ini, berbagai peristiwa luar biasa terjadi yang semakin menegaskan keistimewaan Muhammad. Air konon muncul dari padang pasir yang gersang ketika Muhammad menyentuhnya, dan awan pelindung menaungi perjalanan mereka.
Proses Lamaran
Setelah kembali dari perjalanan dagang yang sukses, Khadijah semakin terkesan dengan kualitas Muhammad. Meskipun norma sosial saat itu tidak mendukung wanita untuk melamar, Khadijah memberanikan diri untuk mempertimbangkan pernikahan dengan Muhammad. Ia meminta bantuan sahabatnya, Nafisa binti Manbah, untuk menjadi perantara.
Nafisa mendekati Muhammad dan bertanya mengapa ia belum menikah. Muhammad menjawab bahwa ia belum memiliki sumber daya finansial yang cukup. Nafisa kemudian menanyakan apakah Muhammad tertarik untuk menikahi seorang wanita dari keluarga terhormat, cantik, dan kaya. Ketika Muhammad menunjukkan ketertarikan, Nafisa mengungkapkan bahwa wanita tersebut adalah Khadijah.
Upacara Pernikahan
Setelah proses lamaran yang dimulai oleh Khadijah melalui Nafisa, keluarga kedua belah pihak terlibat dalam persiapan pernikahan. Dua paman Muhammad, Hamzah dan Abu Talib, secara resmi melamar Khadijah kepada pamannya. Meskipun proposal resmi datang dari pihak Muhammad, inisiatif awal berasal dari keinginan Khadijah untuk menikah dengannya.
Upacara pernikahan Muhammad dan Khadijah berlangsung dengan sederhana namun penuh makna. Saat itu, Muhammad berusia 25 tahun, sementara Khadijah berusia 40 tahun. Meskipun ada perbedaan usia, pernikahan mereka didasari oleh rasa cinta, hormat, dan pengertian yang mendalam.
Pernikahan ini menandai awal dari kisah cinta yang indah dan bersejarah. Selama 25 tahun pernikahan mereka, Muhammad dan Khadijah membangun hubungan yang didasari oleh kesetaraan, saling menghormati, dan dukungan timbal balik. Khadijah menjadi pendukung utama Muhammad, terutama saat awal masa kenabiannya, menjadikan pernikahan mereka sebagai tonggak penting dalam kehidupan Nabi.
Peran Siti Khadijah dalam Dakwah Islam
Dukungan Moral dan Material
Siti Khadijah memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung dakwah Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Ia memberikan dukungan moral yang tak ternilai kepada suaminya, terutama pada saat-saat sulit di awal masa kenabian. Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu pertama di Gua Hira, Khadijah meyakinkan beliau bahwa apa yang dialaminya adalah sesuatu yang baik, bukan sesuatu yang menakutkan. Ia menegaskan bahwa suaminya masih waras dan bahwa berita yang diterimanya adalah kabar gembira.
Selain dukungan moral, Khadijah juga memberikan dukungan material yang sangat berarti. Ia menggunakan kekayaannya untuk mendukung Nabi Muhammad agar dapat berdakwah dengan sepenuh hati dan tenaga. Khadijah bahkan rela meninggalkan rumahnya yang nyaman untuk bergabung dengan suaminya saat bersembunyi dari ancaman kaum Quraisy. Selama tiga tahun hidup dalam kondisi sulit, Khadijah menghabiskan seluruh kekayaannya yang besar untuk mendukung para pengikut Islam.
Orang Pertama yang Beriman
Siti Khadijah memiliki kehormatan sebagai orang pertama yang menerima Islam dan beriman kepada risalah Nabi Muhammad. Ia menjadi pengikut pertama dan pendukung paling setia Nabi Muhammad. Khadijah tidak hanya meyakini kebenaran wahyu yang diterima suaminya, tetapi juga aktif mendukung penyebaran ajaran Islam.
Untuk lebih meyakinkan Nabi Muhammad tentang kebenaran wahyu yang diterimanya, Khadijah berkonsultasi dengan sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah menyamakan wahyu yang diterima Muhammad dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa, sehingga semakin menguatkan keyakinan Muhammad terhadap wahyu yang diterimanya.
Menghadapi Tekanan Kaum Quraisy
Pada masa-masa awal perkembangan Islam, Khadijah memainkan peran penting dalam melindungi Nabi Muhammad dari tekanan kaum Quraisy. Ia menggunakan kekuatan politik dan pengaruhnya untuk melindungi suaminya ketika pertumbuhan Islam masih lambat dan semakin berbahaya. Khadijah tidak hanya mendukung suaminya, tetapi juga para pengikutnya yang menghadapi kesulitan.
Ketika tekanan dari kaum Quraisy semakin meningkat, Khadijah rela meninggalkan kehidupan nyamannya dan bergabung dengan Nabi Muhammad dalam persembunyian. Meskipun menghadapi berbagai kesulitan, semangat Khadijah tetap tinggi dan pengabdiannya tidak pernah goyah. Ia terus mendukung suaminya dan para pengikut Islam, bahkan ketika harus menghabiskan seluruh kekayaannya.
Peran Siti Khadijah dalam dakwah Islam tidak hanya terbatas pada dukungan material dan perlindungan, tetapi juga mencakup keteladanan dalam kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan. Ia menjadi contoh nyata bagi para wanita Muslim tentang bagaimana mendukung perjuangan suami dan agama dengan sepenuh hati.
Kehidupan Rumah Tangga Siti Khadijah dan Nabi Muhammad
Keharmonisan Hubungan
Kehidupan rumah tangga Siti Khadijah dan Nabi Muhammad merupakan teladan bagi umat Muslim. Meskipun terdapat perbedaan usia yang signifikan, dengan Nabi Muhammad berusia sekitar 25 tahun dan Khadijah berusia 40 tahun saat menikah, hubungan mereka didasari oleh rasa cinta, hormat, dan pengertian yang mendalam. Selama 25 tahun pernikahan, mereka membangun hubungan yang dilandasi kesetaraan dan saling menghormati.
Khadijah menjadi pendukung utama Nabi Muhammad, terutama pada masa-masa awal kenabiannya. Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu pertama di Gua Hira dan pulang dalam keadaan gemetar, Khadijah-lah yang menenangkan dan memberinya selimut. Ia bahkan membawa Nabi Muhammad kepada sepupunya, Waraqah bin Naufal, seorang cendekiawan Kristen, untuk meyakinkan bahwa apa yang dialami suaminya adalah tanda-tanda kenabian.
Anak-anak Mereka
Selama pernikahan mereka, Khadijah dan Nabi Muhammad dikaruniai enam atau delapan anak, meskipun sumber-sumber berbeda dalam menyebutkan jumlah pastinya. Putra pertama mereka, Qasim, meninggal setelah ulang tahunnya yang ketiga. Setelah itu, Khadijah melahirkan empat putri: Zaynab, Ruqayyah, Umm Kulthum, dan Fatimah. Putra bungsu mereka, Abdullah, yang juga dikenal sebagai at-Tayyib ('yang Baik') dan at-Tahir ('yang Suci'), juga meninggal di masa kanak-kanak.
Tiga dari anak-anak Nabi Muhammad meninggal semasa hidupnya, dan yang keempat meninggal enam bulan setelah wafatnya Nabi. Hanya tiga dari putri-putri mereka yang memiliki keturunan: Zaynab, Ruqayyah, dan Fatimah Az-Zahra'.
Kesederhanaan Hidup
Meskipun Khadijah adalah seorang saudagar kaya dan terpandang, kehidupan rumah tangga mereka tetap sederhana. Khadijah rela meninggalkan kenyamanan hidupnya untuk mendukung misi dakwah suaminya. Bahkan ketika kaum Quraisy memboikot mereka dan mereka harus hidup dalam kesulitan selama tiga tahun, Khadijah menghabiskan seluruh kekayaannya yang besar untuk mendukung para pengikut Islam.
Kesederhanaan hidup mereka tercermin dalam sikap Nabi Muhammad yang tidak pernah menikah lagi selama Khadijah masih hidup. Bahkan setelah Khadijah wafat, Nabi Muhammad tetap sering mengunjungi makamnya dan mengenang kebaikannya. Nabi Muhammad juga terus mengirimkan makanan dan bantuan kepada teman-teman dan kerabat Khadijah sebagai bentuk cinta dan penghormatan kepadanya.
Kehidupan rumah tangga Siti Khadijah dan Nabi Muhammad menjadi contoh ideal bagi umat Muslim. Keharmonisan, kesederhanaan, dan dukungan yang mereka berikan satu sama lain dalam menghadapi berbagai tantangan hidup menjadi teladan yang abadi.
Keutamaan dan Kemuliaan Siti Khadijah
Gelar-gelar Kehormatan
Siti Khadijah dikenal dengan berbagai gelar kehormatan yang mencerminkan kemuliaan dan keutamaannya. Salah satu gelar yang disandangnya adalah "Ath-Thahirah" yang berarti Wanita Suci. Gelar ini diberikan kepadanya bahkan sebelum kedatangan Islam karena kesucian budi pekertinya, kedudukannya yang mulia di tengah kaumnya, serta kesucian dirinya dari noda-noda paganisme pada zaman Jahiliah.
Gelar lain yang disandang Khadijah adalah "Ummul Mukminin" atau Ibu dari Orang-Orang Mukmin. Gelar ini merupakan anugerah khusus dari Allah SWT yang hanya diberikan kepada wanita-wanita pilihan. Khadijah mendapatkan gelar ini karena menjadi perempuan pertama yang beriman, berdakwah, dan senantiasa bersabar mendampingi Rasulullah SAW.
Khadijah juga dikenal dengan gelar "Sayyidah Nisa' Quraisy" atau Pemuka Perempuan Quraisy. Gelar ini diberikan oleh kaumnya sebagai pengakuan atas keistimewaan Khadijah, baik secara fisik maupun perilaku. Gelar tertinggi yang disandang Khadijah adalah "Sayyidatu Nisâ' lil-'Âlamîn fid-Dunyâ wal Âkhirah" atau Pemuka Wanita Seluruh Dunia dan Akhirat. Gelar ini hanya diberikan kepada Khadijah, putri Nabi Fatimah, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim.
Kecerdasan dan Kebijaksanaan
Kecerdasan dan kebijaksanaan Siti Khadijah terlihat dalam berbagai aspek kehidupannya. Ia dikenal sebagai seorang pengusaha sukses yang memiliki keterampilan bisnis yang luar biasa. Khadijah mewarisi keterampilan bisnis ayahnya dan berhasil mengembangkannya menjadi lebih besar. Bisnisnya bahkan lebih besar dari seluruh perdagangan Quraisy yang digabungkan.
Khadijah memiliki cara berdagang yang unik dan cerdas. Ia tidak ikut serta langsung dalam perdagangan bersama kaumnya, melainkan memiliki karyawan khusus yang mengelola perdagangannya. Maysarah bertindak sebagai manajer utama, sementara Khadijah memantau segala urusan perdagangan dari kediamannya. Ketika ada masalah yang rumit, ia akan menyelesaikannya bersama keluarga besarnya.
Kebijaksanaan Khadijah juga terlihat ketika ia menjadi pendukung utama Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu pertama dan pulang dalam keadaan gemetar, Khadijah-lah yang menenangkan dan memberinya dukungan. Ia bahkan membawa Nabi Muhammad kepada sepupunya, Waraqah bin Naufal, seorang cendekiawan Kristen, untuk meyakinkan bahwa apa yang dialami suaminya adalah tanda-tanda kenabian.
Kedermawanan
Kedermawanan Siti Khadijah merupakan salah satu sifat yang paling menonjol. Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah dikenal sangat dermawan dan suka membantu orang lain. Ia memberikan banyak hartanya untuk membantu orang-orang miskin, sakit, cacat, janda, dan anak yatim. Bahkan, Khadijah juga memberikan bantuan finansial kepada pasangan miskin yang ingin menikah.
Kedermawanan Khadijah tidak hanya terbatas pada harta benda. Ia juga memberikan dukungan moral dan spiritual kepada Nabi Muhammad SAW dan para pengikut Islam awal. Ketika diperlukan, Khadijah rela meninggalkan rumahnya yang nyaman untuk bergabung dengan suaminya saat bersembunyi dari ancaman kaum Quraisy. Selama tiga tahun hidup dalam kondisi sulit, Khadijah menghabiskan seluruh kekayaannya yang besar untuk mendukung para pengikut Islam.
Kedermawanan dan pengorbanan Khadijah ini membuat Nabi Muhammad SAW sangat menghormati dan mencintainya. Bahkan setelah Khadijah wafat, Nabi Muhammad tetap sering mengingat kebaikannya dan menjadikannya teladan bagi umat Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Wafatnya Siti Khadijah
Sakit dan Meninggalnya
Siti Khadijah, istri tercinta Nabi Muhammad SAW, jatuh sakit dan meninggal dunia pada tahun ke-10 setelah kenabian. Wafatnya terjadi pada bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 10 Ramadhan. Khadijah diperkirakan berusia sekitar 65 tahun saat meninggal. Penyebab kematiannya diduga terkait dengan masa-masa sulit yang dialami selama tiga tahun pengasingan, di mana keluarga Nabi Muhammad mengalami kesulitan ekonomi dan kekurangan makanan.
Kematian Khadijah merupakan pukulan berat bagi Nabi Muhammad SAW. Selama 25 tahun pernikahan mereka, Khadijah telah menjadi pendukung setia dan kekuatan bagi Nabi dalam menjalankan misinya. Ia adalah wanita pertama yang beriman kepada risalah Nabi Muhammad dan memberikan dukungan penuh, baik secara moral maupun material.
Kesedihan Nabi Muhammad
Kepergian Khadijah meninggalkan duka yang mendalam bagi Nabi Muhammad SAW. Para sahabat melaporkan bahwa setelah kematian Khadijah, Nabi tidak tersenyum selama berbulan-bulan. Kesedihan Nabi begitu dalam, mencerminkan betapa berartinya Khadijah dalam kehidupannya.
Nabi Muhammad SAW terus mengingat Khadijah dengan penuh cinta, kasih sayang, dan rasa terima kasih. Bahkan setelah kematiannya, Nabi tetap mengirimkan makanan dan bantuan kepada teman-teman dan kerabat Khadijah sebagai bentuk cinta dan penghormatan kepadanya.
Nabi Muhammad SAW menempatkan Khadijah dalam jajaran empat wanita sempurna, bersama dengan saudari Nabi Musa, ibu Nabi Isa, dan Fatimah, putri tercintanya. Khadijah juga menerima penghormatan ilahi dan salam kedamaian dari Allah SWT.
'Amul Huzn (Tahun Kesedihan)
Tahun kematian Khadijah dikenal sebagai 'Amul Huzn atau Tahun Kesedihan dalam sejarah Islam. Kesedihan ini semakin bertambah karena dalam tahun yang sama, paman dan pelindung Nabi Muhammad, Abu Thalib, juga meninggal dunia. Kedua kematian ini terjadi dalam jarak waktu yang tidak terlalu lama, hanya berselang 40 hari.
Kehilangan dua orang terdekat ini merupakan pukulan berat bagi Nabi Muhammad SAW. Abu Thalib telah menjadi pelindung dan pendukung setia Nabi selama 40 tahun. Dengan meninggalnya Abu Thalib, Nabi Muhammad kehilangan perlindungan klan yang selama ini melindunginya dari ancaman musuh-musuhnya.
Tahun Kesedihan ini menandai periode sulit dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Tanpa perlindungan Abu Thalib, Nabi menghadapi ancaman dan perlakuan buruk yang semakin meningkat dari para penentangnya di Mekah. Namun, di tengah kesedihan dan kesulitan ini, Allah SWT menurunkan surah Al-Insyirah dan Ad-Dhuha sebagai penghiburan dan penenang jiwa bagi Nabi Muhammad SAW.
Meskipun menghadapi kesedihan dan tantangan yang berat, Nabi Muhammad SAW tetap tabah dan melanjutkan misinya untuk menyebarkan pesan Allah kepada umat manusia. Kesabaran dan ketabahan Nabi dalam menghadapi ujian ini menjadi teladan bagi umat Islam dalam menghadapi kesulitan hidup.
Kesimpulan
Kisah Siti Khadijah memberikan inspirasi yang tak terbatas bagi umat Muslim, terutama wanita. Keberanian, kecerdasan, dan kedermawanannya memiliki dampak besar pada perkembangan Islam di masa awal. Dukungannya yang tak tergoyahkan kepada Nabi Muhammad, baik dalam suka maupun duka, menunjukkan kekuatan cinta dan iman yang sejati. Kehidupan Khadijah menjadi contoh nyata bagaimana seorang wanita bisa menjadi pilar kekuatan dalam keluarga dan masyarakat.
Warisan Siti Khadijah terus hidup hingga saat ini, menginspirasi generasi demi generasi umat Muslim. Kisahnya mengajarkan nilai-nilai penting seperti kesetiaan, pengorbanan, dan kebijaksanaan. Meski telah lama berlalu, teladan Khadijah tetap relevan, mendorong kita untuk menghargai peran penting wanita dalam agama dan masyarakat. Di akhir cerita, kita diingatkan bahwa kebesaran sejati terletak pada karakter dan tindakan, bukan pada kekayaan atau status semata.