Gambar dalam Artikel hanya referensi yang dibuat menggunakan Situs AI

Daftar isi

Istri Nabi Muhammad: Mengenal Peran dan Keistimewaan Mereka

Kisah Istri Nabi Muhammad SAW yang Jarang Diketahui, Keistimewaan dan Fakta Menarik Istri Nabi Muhammad SAW, Sifat Mulia Istri Nabi Muhammad SAW
Invite your friends to join as an Involve Partner & earn an RM5 bonus for each referral. The more friends you refer, the more rewards you stand to earn. It’s simple and hassle-free!

Istri Nabi Muhammad: Mengenal Peran dan Keistimewaan Mereka

Istri Nabi Muhammad SAW ternyata memiliki gelar khusus yang sangat terhormat dalam Islam, yaitu "Ummahatul Mukminin" atau "Ibu dari orang-orang beriman." Gelar ini bukan sekadar sebutan, tetapi mencerminkan peran penting mereka dalam sejarah perkembangan agama Islam dan kehidupan Rasulullah.

Jumlah istri Nabi Muhammad mencapai sebelas orang, dengan dua di antaranya meninggal dunia saat beliau masih hidup, sedangkan sembilan lainnya masih hidup saat beliau wafat. Meskipun banyak yang mengenal nama istri Nabi Muhammad seperti Khadijah dan Aisyah, kisah istri Nabi Muhammad lainnya tidak kalah inspiratif. Selain itu, setiap dari mereka memiliki latar belakang dan kontribusi unik dalam penyebaran Islam.

Khadijah binti Khuwailid, sebagai istri pertama, adalah wanita pertama yang memeluk Islam dan mendukung Nabi baik secara finansial maupun emosional. Sementara itu, Aisyah binti Abu Bakar dikenal dengan kecerdasannya dalam ilmu fikih dan menjadi periwayat hadits terbanyak. Bahkan Hafsa binti Umar dipercaya sebagai penjaga mushaf pertama Al-Qur'an setelah wafatnya Nabi. Kisah-kisah teladan dari para wanita mulia ini menyimpan banyak hikmah yang masih relevan hingga saat ini.

Sejarah Pernikahan Nabi Muhammad SAW

Rasulullah SAW mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Sayyidah Khadijah binti Khuwailid saat beliau berusia 25 tahun. Selama 25 tahun, Rasulullah SAW hidup bermonogami dengan Khadijah hingga akhirnya beliau wafat saat Rasulullah SAW berusia 50 tahun. Setelah Sayyidah Khadijah meninggal, barulah Rasulullah SAW berpoligami.

Setelah wafatnya Khadijah, Rasulullah sempat menduda selama satu tahun. Sejumlah sahabat merasa sedih dengan kesendirian Nabi, sehingga mereka berusaha membujuk Rasulullah agar menikah lagi. Khaulah binti Hakim mendatangi Nabi dan membujuknya untuk menikahi Aisyah binti Abu Bakr. Nabi Muhammad setuju dan melamar Aisyah, namun belum menggaulinya.

Selanjutnya, Rasulullah menikahi Saudah binti Zam'ah, seorang janda berusia 55 tahun. Abdul Hasan 'Ali al-Hasani an-Nadwi dalam Sirah Nabawiyah menyebut saat menikahi Saudah, usia Rasulullah 50 tahun.

Hikmah di balik poligami Nabi

Poligami yang dilakukan Rasulullah SAW memiliki tujuan yang agung, bukan sebagai pelampiasan nafsu. Beberapa hikmah di balik poligami Nabi antara lain:

  1. Hikmah Ta'limiyyah (sebagai wadah pengajaran): Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah, menyampaikan hukum-hukum Allah dalam segala bidang kehidupan umatnya.

  2. Hikmah Tasyri'iyyah (sebagai pensyariatan): Untuk membatalkan tradisi orang Arab dahulu yang tidak memperbolehkan seseorang menikahi mantan istri anak adopsinya.

  3. Hikmah Ijtimaa'iyyah (sosial): Untuk memperluas tali kekeluargaan sehingga memudahkan beliau dalam mensyiarkan dakwahnya.

  4. Hikmah Siyaasiyyah (politik): Untuk memperkuat Islam, contohnya ketika beliau menikahi Shafiyyah Bint Huyay yang merupakan anak pemimpin klan Bani Quraizhah.

Kondisi sosial pada masa Nabi

Pada masa sebelum lahirnya Islam, dikenal dengan sebutan zaman jahiliyah. Struktur masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang rendah, tidak diperbolehkan untuk tampil sebagaimana laki-laki. Sistem perbudakan berlaku dan berkembang di kalangan bangsa Arab.

Mayoritas penduduk Jazirah Arab di masa Jahiliyah menyembah berhala, sementara minoritas di antara mereka ada orang Yahudi di Yatsrib, orang Kristen Najran di Arabia Selatan, dan sedikit yang beragama Hanif di Makkah.

Tujuan pernikahan Nabi

Tujuan pernikahan dalam Islam, termasuk pernikahan Nabi Muhammad SAW, antara lain:

  1. Mendapatkan keturunan: Agar umat Islam terus bertambah, jihad tidak akan terhenti, dan dunia menjadi sejahtera.

  2. Menjaga diri dari godaan setan: Dengan menikah, seorang muslim akan terlindung dari syahwat yang liar, pandangan yang buruk, dan perbuatan keji.

  3. Mengistirahatkan dan menenangkan jiwa: Melihat keluarga kecilnya bahagia di rumah, maka beban seorang muslim akan otomatis sirna.

  4. Meringankan beban hidup: Ketika sudah menikah, beban hidup yang tadinya ditanggung sendirian akan terasa lebih ringan.

  5. Melatih kesabaran: Seiring banyaknya masalah, tantangan, dan rintangan yang menghadang di kehidupan rumah tangga, maka seorang muslim akan terlatih kesabarannya.

Pernikahan Nabi Muhammad SAW menjadi teladan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan berumah tangga yang sesuai dengan ajaran Islam.

Khadijah binti Khuwailid

Khadijah binti Khuwailid merupakan sosok wanita luar biasa yang menjadi pendamping hidup pertama Rasulullah SAW. Pernikahan mereka berlangsung selama 25 tahun hingga Khadijah wafat, dan merupakan satu-satunya istri yang tidak dipoligami selama hidupnya.

Latar belakang Khadijah binti Khuwailid

Khadijah lahir di Mekkah pada tahun 555 M atau sekitar 68 tahun sebelum Hijriah dari keluarga terpandang suku Quraisy. Ayahnya, Khuwailid bin Asad, adalah pedagang terkemuka, sementara ibunya bernama Fatimah binti Za'idah. Setelah kedua orangtuanya wafat, Khadijah mengambil alih bisnis keluarga dan mengembangkannya menjadi jaringan perdagangan yang luas dari Mekkah hingga Syiria dan Yaman.

Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, Khadijah telah menikah dua kali. Pertama dengan Atiq bin Abid dan kedua dengan Abu Halah At-Tamimi. Dari kedua pernikahan tersebut, ia memiliki beberapa anak. Kecerdasan bisnis dan akhlaknya yang mulia membuatnya dijuluki "Ath-Thahirah" (yang suci) dan "Sayyidatuna Nisa' Quraisy" (pemimpin wanita Quraisy).

Peran Khadijah dalam dakwah Islam

Khadijah menjadi orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya setelah turunnya wahyu pertama. Saat Nabi Muhammad SAW kembali ketakutan dari Gua Hira setelah menerima wahyu, Khadijahlah yang memberikan ketenangan dengan berkata, "Demi Allah, Allah takkan mencelakakan engkau selamanya; engkau suka menyambungkan tali silaturahim, selalu jujur dalam bicara, meringankan derita orang lain, menyantuni orang tak mampu, menjamu tamu, dan menolong orang lain untuk mendapatkan haknya."

Selain dukungan emosional, Khadijah juga mendukung dakwah Islam dengan seluruh hartanya. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda tentangnya: "Dia beriman kepadaku disaat orang-orang mengingkari. Ia membenarkanku disaat orang mendustakan. Dan ia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang tiada mau."

Keistimewaan Khadijah sebagai istri pertama

Khadijah memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki istri-istri Nabi lainnya:

  • Menjadi wanita pertama yang beriman dan shalat bersama Rasulullah SAW

  • Menerima salam langsung dari Allah dan Malaikat Jibril

  • Dijanjikan sebuah rumah di surga yang terbuat dari emas dan perak

  • Disebut sebagai salah satu wanita terbaik di dunia bersama Maryam binti Imran

Kecintaan Nabi Muhammad SAW terhadap Khadijah sangat besar hingga beliau sering mengenangnya bahkan setelah wafatnya. Aisyah r.a pernah berkata, "Belum pernah aku cemburu terhadap istri-istri Nabi sebagaimana cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya."

Khadijah wafat pada usia 65 tahun, tiga tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Kepergiannya menyebabkan kesedihan mendalam bagi Nabi hingga tahun itu disebut sebagai 'Aamul Huzni (tahun kesedihan).

Saudah binti Zam’ah

Setelah tiga tahun kepergian Khadijah, Nabi Muhammad SAW menikah dengan Saudah binti Zam'ah, wanita yang menjadi istri kedua beliau. Pernikahan ini terjadi pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian, sekitar tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah.

Latar belakang Saudah binti Zam'ah

Saudah lahir dari keluarga Bani Amir bin Luay dari suku Quraisy. Ayahnya bernama Zam'ah bin Qais, sementara ibunya bernama Syammus binti Qais. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Saudah telah menikah dengan sepupunya, As-Sakran bin Amr. Mereka termasuk muslim awal yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) untuk menghindari penindasan kaum Quraisy.

Setelah kembali ke Mekah, suami Saudah meninggal dunia. Pada saat itu, Saudah berusia sekitar 50 tahun dan tinggal sebagai janda. Kondisi janda pada masa itu sangat sulit, apalagi bagi seorang muslimah yang tidak memiliki perlindungan dari keluarga yang masih kafir. Atas saran Khaulah binti Hakim, Rasulullah kemudian menikahinya.

Kesetiaan dan pengorbanan Saudah

Kesetiaan Saudah terhadap Rasulullah dan Islam terbukti melalui keberaniannya memeluk Islam di masa awal dan berhijrah ke Habasyah. Namun, pengorbanan Saudah yang paling dikenang adalah ketika beliau menyerahkan jatah malamnya kepada Aisyah r.a.

Ketika sudah berusia lanjut, Saudah merasa khawatir Rasulullah akan menceraikannya. Untuk menghindari hal tersebut, beliau berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, saya tidak lagi memiliki keinginan kepada laki-laki. Namun saya ingin dibangkitkan sebagai istri engkau di akhirat kelak. Oleh karena itu, tetaplah engkau mempertahankan saya sebagai istrimu dan berikan jatah giliranku kepada Aisyah."

Peran Saudah dalam keluarga Nabi

Saudah memiliki peran penting dalam keluarga Nabi Muhammad SAW. Selain menjadi ibu yang baik bagi anak-anak Rasulullah, beliau juga dikenal sebagai wanita yang pandai memasak dan membuat manisan. Menurut riwayat, Saudah sering membuat hidangan khusus untuk keluarga Nabi dan para sahabat.

Selain itu, Saudah menjadi penghibur dan pengganti sosok ibu bagi anak-anak Rasulullah yang masih kecil sepeninggal Khadijah. Ketika istri-istri Nabi yang lain menikah dengan beliau, Saudah tetap menjadi sosok yang disegani karena ketuaannya.

Saudah juga dikenal memiliki selera humor yang baik. Meski demikian, beliau sangat menjaga kehormatan diri dan keluarga Nabi. Saudah wafat pada masa khalifah Umar bin Khattab sekitar tahun 23 Hijriah (644 M). Kehidupan Saudah binti Zam'ah merupakan teladan kesetiaan, kesederhanaan, dan pengorbanan demi keutuhan keluarga dan agama.

Aisyah binti Abu Bakar

Di antara para istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah binti Abu Bakar menduduki posisi istimewa dengan kecerdasan dan daya ingatnya yang luar biasa. Beliau adalah putri dari sahabat terkemuka Nabi, Abu Bakar ash-Shiddiq, yang kemudian menjadi istri ketiga dan termuda Rasulullah.

Kecerdasan Aisyah binti Abu Bakar

Aisyah dikenal sebagai tokoh intelektual wanita yang menonjol dalam sejarah Islam awal. Meskipun dinikahi pada usia muda, beliau memiliki kecerdasan dan kemampuan hafalan yang mengagumkan. Ibnu Syihab al-Zuhri pernah berkata, "Jika ilmu seluruh manusia, termasuk ilmu para istri Rasulullah saw. dibandingkan, maka ilmu Aisyahlah yang paling luas". Kecerdasannya mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan, meliputi:

  • Tafsir Al-Qur'an dan asbabun nuzul

  • Hadis dan metodologinya

  • Fikih dan fatwa keagamaan

  • Syair dan sastra Arab

  • Kedokteran dan pengobatan

  • Sejarah dan silsilah bangsa Arab

Urwan bin Zubair menegaskan, "Aku tidak pernah melihat perempuan yang lebih cerdas di bidang kedokteran, fiqih dan syair selain Aisyah". Bahkan, para sahabat senior seperti Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan sering mengirimkan utusan untuk meminta fatwa atau bertanya tentang sunnah Rasulullah kepada Aisyah.

Kontribusi Aisyah dalam periwayatan hadis

Aisyah termasuk kelompok al-mukatsirin (perawi hadis terbanyak) dengan 2.210 hadis yang diriwayatkan sepanjang hidupnya. Beliau menempati posisi keempat dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Bukhari dan Muslim sepakat meriwayatkan 174 hadis darinya, sementara Bukhari sendiri meriwayatkan 54 hadis dan Muslim 68 hadis.

Keistimewaan Aisyah dalam periwayatan hadis adalah sebagian besar hadisnya diriwayatkan langsung dari Rasulullah, berbeda dengan sahabat lain yang banyak meriwayatkan dari sesama sahabat. Selain itu, Aisyah sangat ketat berpegang pada redaksi asli hadis dan menolak riwayah bil ma'na (periwayatan dengan redaksi berbeda namun makna sama).

Setelah wafatnya Nabi, rumah Aisyah menjadi madrasah hadis. Jumlah orang yang belajar langsung hadis darinya mencapai ratusan, baik dari kalangan sahabat, kerabat, maupun tabi'in. Abu Dhuha meriwayatkan, "Aku melihat orang-orang tua di kalangan sahabat yang bertanya banyak hal kepada Sayyidah Aisyah".

Kisah unik Aisyah bersama Nabi

Hubungan Aisyah dengan Rasulullah penuh dengan kisah unik dan menyentuh. Nabi Muhammad sering memanggil Aisyah dengan panggilan sayang seperti "Humaira" (pipi kemerah-merahan) atau "Aisy". Ketika Aisyah marah, Nabi mencubit hidungnya dan memanggilnya "Uways" (panggilan kecil untuk Aisyah).

Salah satu kisah menarik adalah ketika mereka berlomba lari. Al-Humaid, Abu Syaibah, Abu Daud, dan An-Nasai meriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi mengajak Aisyah balapan lari dan Aisyah berhasil mengalahkannya. Namun ketika Aisyah bertambah gemuk, Nabi mengalahkannya dan berkata, "Hai Humaira, ini pembalasan kekalahan yang dulu".

Rasulullah juga sering duduk dan menonton Aisyah bermain dengan boneka bersama teman-temannya, bahkan terkadang ikut bergabung dengan mereka. Beliau menghargai kecerdasan dan daya ingat Aisyah yang tajam sehingga memerintahkan para sahabat untuk meniru beberapa praktik keagamaan darinya.

Hafshah binti Umar

Hafshah binti Umar menempati posisi istimewa sebagai istri keempat Nabi Muhammad SAW yang memiliki peran vital dalam pelestarian Al-Qur'an. Putri dari Umar bin Khattab ini dikenal dengan ketegasan dan keberanian yang diwarisi dari ayahnya.

Latar belakang Hafshah binti Umar

Hafshah dilahirkan pada tahun yang bersejarah bagi kaum Quraisy, yaitu saat Rasulullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka'bah dibangun kembali akibat banjir. Lahir lima tahun sebelum kenabian Muhammad SAW, Hafshah merupakan putri dari Umar bin Khattab dan Zaynab binti Madh'un.

Sebelum menikah dengan Nabi, Hafshah telah menikah dengan Khunais bin Hudzafah. Suaminya ikut serta dalam Perang Badar namun kemudian jatuh sakit dan wafat, meninggalkan Hafshah sebagai janda di usia sekitar 18 tahun. Setelah itu, Rasulullah menikahinya pada tahun ketiga Hijriah dengan mahar sebesar 400 dirham.

Peran Hafshah sebagai penjaga mushaf Al-Qur'an

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah perannya sebagai penjaga mushaf Al-Qur'an. Berbeda dengan kebanyakan wanita pada masanya, Hafshah memiliki kemampuan membaca dan menulis yang langka dimiliki bahkan oleh kaum pria. Keistimewaan ini menjadikannya dipercaya untuk mengumpulkan dan menyimpan Al-Qur'an.

Pada masa Khalifah Abu Bakar, banyak penghafal Al-Qur'an yang gugur dalam peperangan Riddah. Kondisi ini mendorong Umar bin Khattab mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur'an yang tercecer. Meskipun awalnya Abu Bakar ragu, akhirnya beliau memerintahkan pengumpulan Al-Qur'an dan Hafshah dipercaya untuk menjaga naskah tersebut.

Mushaf yang dijaga Hafshah menjadi sumber utama ketika Utsman bin Affan memutuskan untuk menyusun Al-Qur'an menjadi satu kitab. Oleh karena itu, Hafshah dikenal dengan gelar "Penjaga Kitab Allah" karena menyimpan Al-Qur'an di hatinya dan juga di rumahnya.

Keistimewaan Hafshah dalam sejarah Islam

Selain kemampuan literasinya, Hafshah dikenal sebagai wanita yang tekun beribadah. Ia rajin berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari. Malaikat Jibril bahkan menggambarkannya kepada Rasulullah sebagai seseorang yang sering melaksanakan puasa sunnah dan shalat malam, serta akan menjadi salah satu istri beliau di surga.

Hafshah juga berkontribusi dalam periwayatan hadis dengan meriwayatkan sekitar 60 hadis dari Rasulullah. Ketegasan karakternya mirip dengan ayahnya, namun ia menjaga hubungan baik dengan istri-istri Nabi lainnya, terutama dengan Aisyah.

Hafshah meninggal dunia pada tahun 45 Hijriah di masa khalifah Mu'awiyah. Jenazahnya disalatkan oleh Marwan bin Al-Hakam dan dimakamkan oleh saudaranya, Abdullah bin Umar dan Ashim bin Umar.

Zainab binti Jahsy

Pernikahan Zainab binti Jahsy dengan Nabi Muhammad SAW menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah dalam Islam karena dilaksanakan atas perintah langsung dari Allah SWT. Zainab, yang merupakan sepupu Rasulullah, terkenal dengan kedermawanan dan kesalehannya yang luar biasa.

Pernikahan Zainab binti Jahsy atas perintah Allah

Pada awalnya, Zainab menikah dengan Zaid bin Haritsah, mantan budak yang telah dimerdekakan dan diangkat sebagai anak oleh Nabi Muhammad. Namun, pernikahan tersebut tidak berjalan harmonis. Meskipun Rasulullah menyarankan Zaid untuk mempertahankan pernikahannya, akhirnya mereka bercerai setelah Allah menurunkan wahyu.

Setelah masa iddah selesai, Allah SWT menikahkan Zainab dengan Nabi Muhammad melalui firman-Nya dalam Surah Al-Ahzab ayat 37. Pernikahan ini berlangsung pada awal bulan Dzulqa'dah tahun ke-5 Hijriah ketika Zainab berusia 35 tahun. Tidak seperti istri-istri Nabi lainnya, Zainab sering menyebutkan bahwa pernikahannya dilangsungkan langsung oleh Allah dari atas 'Arsy-Nya, tanpa wali dan saksi.

Perubahan hukum adopsi dalam Islam

Hikmah di balik pernikahan tersebut adalah untuk merombak tradisi Jahiliyah penduduk Mekkah yang menyamakan status anak angkat dengan anak kandung. Melalui pernikahan ini, Allah menetapkan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, dan mantan istri anak angkat boleh dinikahi oleh ayah angkatnya.

Peristiwa ini juga mengubah panggilan Zaid dari "Zaid bin Muhammad" menjadi "Zaid bin Haritsah", mengembalikan nasabnya kepada ayah kandungnya sesuai firman Allah untuk memanggil anak-anak angkat dengan nama bapak-bapak mereka.

Kedermawanan Zainab dalam masyarakat

Zainab dikenal dengan julukan "Panjang Tangan", sebuah ungkapan yang menggambarkan kedermawanannya yang luar biasa. Ia mahir menyamak kulit binatang (dābighah) dan menjahit, kemudian menjual hasilnya dan menyedekahkannya kepada fakir miskin.

Kedermawanannya terlihat saat Khalifah Umar mengirimkan 12.000 dirham kepadanya. Alih-alih menyimpannya, Zainab segera membagikan seluruh uang tersebut kepada kerabat, anak-anak yatim, serta kaum dhuafa. Bahkan Aisyah mengakui bahwa tidak ada yang lebih memperhatikan nasib anak yatim dan janda dari Zainab.

Zainab wafat pada usia 53 tahun dan menjadi istri Rasulullah pertama yang wafat setelah kematian beliau.

Ummu Salamah

Terkenal dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya, Ummu Salamah menduduki posisi penting di antara istri-istri Rasulullah SAW. Bernama asli Hindun binti Suhail bin Mughirah bin Makhzum, beliau dibesarkan di lingkungan Quraisy terpandang. Ayahnya dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir) karena kedermawanannya. Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, beliau adalah istri Abu Salamah yang syahid dalam Perang Badar.

Kebijaksanaan Ummu Salamah dalam keputusan penting

Ummu Salamah dikenal sebagai istri Nabi yang memiliki kematangan emosional dan kecerdasan intelektual luar biasa. Beliau sering memberikan nasihat yang bijak kepada Rasulullah SAW dalam berbagai situasi sulit. Bahkan, Nabi Muhammad SAW biasa meminta pendapat Ummu Salamah mengenai beberapa perkara agama dan urusan kenegaraan. Ibnu Hajar mengatakan tentang Ummu Salamah, "Anjurannya kepada Nabi pada hari Hudaibiyah menunjukkan kecerdasan akalnya dan benarnya pandangannya."

Peran Ummu Salamah dalam Perjanjian Hudaibiyah

Kegemilangan Ummu Salamah yang paling dikenang adalah saat Perjanjian Hudaibiyah. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat tidak diizinkan kaum Quraisy untuk berhaji, terjadilah perjanjian yang mengizinkan mereka melakukan umrah pada tahun berikutnya. Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut. Namun, tidak ada satu pun sahabat yang melaksanakannya karena kekecewaan terhadap isi perjanjian.

Nasihat Ummu Salamah kepada Nabi

Saat menghadapi keengganan para sahabat, Rasulullah SAW masuk ke tenda dan menceritakan permasalahan tersebut kepada Ummu Salamah. Dengan bijaksana, beliau memberikan solusi, "Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin hal itu terjadi? Keluarlah, jangan bicara satu kata pun dengan siapa pun dari mereka, sembelihlah hewan kurbanmu, lalu panggillah tukang cukur supaya mencukur rambutmu."

Rasulullah SAW mengikuti saran tersebut dan keluar tanpa berbicara sepatah kata pun. Beliau menyembelih hewan kurban dan mencukur rambutnya. Melihat tindakan Nabi, para sahabat akhirnya mengikuti dengan menyembelih hewan kurban dan saling mencukur rambut. Peristiwa ini menunjukkan kebijaksanaan Ummu Salamah dalam mengatasi situasi krusial dan sekaligus membuktikan bahwa Rasulullah menghargai pendapat istrinya dalam pengambilan keputusan penting.

Ummu Salamah adalah istri Rasulullah yang terakhir wafat, meninggal pada tahun 61 Hijriah, sehingga beliau berkesempatan meriwayatkan banyak hadis dan mengajarkan ilmu dari Rasulullah kepada generasi setelahnya.

Juwairiyah binti al-Harith

Kisah pernikahan Juwairiyah binti al-Harith dengan Nabi Muhammad SAW merupakan contoh bagaimana sebuah ikatan pernikahan dapat mengubah hubungan antara dua kelompok yang berseteru. Juwairiyah, yang awalnya menjadi tawanan perang, akhirnya menjadi pembawa berkah bagi kaumnya.

Latar belakang Juwairiyah binti al-Harith

Juwairiyah lahir dengan nama asli Barrah binti al-Harith, putri dari pemimpin Bani Musthaliq, al-Harith bin Abi Dhirar. Sebagai putri kepala suku, Juwairiyah memiliki kedudukan terhormat di kalangan kaumnya. Sebelum bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, Juwairiyah telah menikah dengan Musafi' bin Shafwan al-Mushthaliq.

Pertemuan Juwairiyah dengan Nabi Muhammad terjadi setelah Perang Muraisi' (juga dikenal sebagai Perang Bani Musthaliq) yang berlangsung pada tahun ke-5 atau ke-6 Hijriah. Dalam peperangan tersebut, suami Juwairiyah terbunuh dan dia menjadi tawanan. Juwairiyah kemudian jatuh ke tangan sahabat Tsabit bin Qais bin Syammas.

Pernikahan yang membawa perdamaian

Sebagai wanita terhormat, Juwairiyah berusaha membebaskan dirinya dengan membuat perjanjian tebusan dengan Tsabit. Namun, jumlah tebusan yang diminta sangat besar sehingga Juwairiyah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta bantuan.

Menurut riwayat Aisyah, Juwairiyah adalah wanita yang sangat cantik dan mempesona. Saat bertemu Nabi Muhammad SAW, Juwairiyah menjelaskan kondisinya dan meminta bantuan untuk pembebasan dirinya. Alih-alih sekadar membantunya, Rasulullah menawarkan solusi yang jauh lebih baik: "Atau engkau ingin yang lebih baik dari itu?" tanya Rasulullah. "Apa itu, wahai Rasulullah?" tanya Juwairiyah. "Aku menikahimu dan kutunaikan pembebasanmu," jawab Rasulullah. Juwairiyah dengan senang hati menerima tawaran tersebut.

Dampak sosial dari pernikahan Juwairiyah

Pernikahan ini memiliki dampak luar biasa terhadap hubungan antara umat Islam dengan Bani Musthaliq. Setelah mendengar kabar pernikahan tersebut, para sahabat berkata, "Para tawanan itu adalah kerabat (besan) Rasulullah." Mereka kemudian membebaskan seluruh tawanan Bani Musthaliq yang berjumlah lebih dari seratus keluarga.

Akibat pembebasan dan pernikahan ini, banyak anggota Bani Musthaliq termasuk ayah Juwairiyah, al-Harith bin Abi Dhirar, akhirnya memeluk Islam. Bahkan, sejarah tidak pernah lagi mencatat permusuhan antara umat Islam dengan Bani Musthaliq setelah peristiwa ini.

Aisyah pernah berkata tentang Juwairiyah, "Aku tidak mengetahui wanita yang paling banyak berkahnya bagi kaumnya dibanding Juwairiyah."

Maria al-Qibtiyah

Maria al-Qibtiyah memiliki tempat khusus di hati Rasulullah SAW sebagai satu-satunya istri yang berasal dari luar tanah Arab. Wanita berparas cantik ini menjadi ibu dari satu-satunya putra Nabi yang lahir setelah kenabian.

Asal usul Maria al-Qibtiyah dari Mesir

Maria binti Syama'un lahir di desa Hafan dekat Sungai Nil, Mesir. Ayahnya berasal dari suku Qibti asli Mesir, sementara ibunya berasal dari Romawi yang beragama Nasrani. Pada tahun ke-7 Hijriah, Nabi Muhammad SAW mengirim surat kepada Muqawqis, penguasa Mesir, mengajaknya memeluk Islam melalui utusannya, Hatib bin Abi Balta'ah.

Meskipun menolak ajakan tersebut karena Mesir berada di bawah kekuasaan Romawi, Muqawqis mengirimkan hadiah kepada Nabi, termasuk Maria dan saudara perempuannya, Sirin. Awalnya Maria sedih meninggalkan kampung halamannya, namun sepanjang perjalanan, Hatib menceritakan tentang Islam dan keutamaan Nabi Muhammad hingga akhirnya Maria memeluk Islam.

Setibanya di Madinah, kecantikan Maria yang berkulit putih dengan rambut bergelombang membuat Nabi terpesona. Rasulullah kemudian membuatkan rumah khusus untuknya di daerah 'Aliyah, berjarak sekitar tiga mil dari Madinah.

Kelahiran Ibrahim, putra Nabi

Satu tahun setelah tinggal di Madinah, Maria mengandung. Kabar ini membuat Rasulullah sangat bahagia, terlebih setelah beliau tidak lagi memiliki anak sejak wafatnya putra-putrinya terdahulu. Pada bulan Dzulhijjah tahun ke-8 Hijriah, lahirlah Ibrahim, satu-satunya putra Nabi setelah Khadijah.

Kelahiran Ibrahim membuat seluruh Madinah bersukacita. Namun, kebahagiaan ini tidak berlangsung lama karena pada usia sekitar 16 bulan, Ibrahim jatuh sakit dan wafat. Bersamaan dengan kematian Ibrahim, terjadi gerhana matahari yang membuat sebagian sahabat mengaitkannya dengan kematian putra Rasulullah. Akan tetapi, Nabi segera membantah anggapan tersebut.

Kesetiaan Maria dalam rumah tangga Nabi

Kehidupan rumah tangga Maria tidak selalu mudah. Kehadiran Maria dan kelahiran Ibrahim menimbulkan kecemburuan di antara istri-istri Nabi lainnya. Aisyah pernah berkata, "Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya."

Setelah wafatnya Rasulullah, Maria hidup menyendiri. Beliau tidak pernah keluar kecuali untuk mengunjungi makam suami dan putranya. Lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, pada tahun ke-16 Hijriah, Maria meninggal dunia dan dimakamkan di Baqi' dengan Khalifah Umar bin Khattab yang mengimami shalat jenazahnya.

Shafiyah binti Huyay

Shafiyah binti Huyay memiliki kedudukan unik di antara istri-istri Nabi Muhammad SAW karena berasal dari keluarga Yahudi terkemuka. Sosok wanita yang memeluk Islam dengan tulus ini meninggalkan warisan penting dalam sejarah Islam.

Latar belakang Shafiyah dari Bani Nadhir

Shafiyah lahir sekitar tahun 612 M dari keluarga bangsawan Yahudi Bani Nadhir. Ayahnya, Huyay bin Akhtab, adalah pemimpin terkemuka Bani Nadhir di Madinah, sedangkan ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah. Silsilah keturunannya sangat terhormat karena bersambung hingga Nabi Harun AS, saudara Nabi Musa AS.

Sebelum bertemu Rasulullah, Shafiyah pernah menikah dengan dua tokoh Yahudi. Pernikahan pertamanya dengan Salam bin Misykam dari Bani Quraizhah tidak berlangsung lama. Kemudian ia menikah dengan Kinanah bin Abi Rabi yang terbunuh dalam Perang Khaibar. Selama kehidupan awalnya, Shafiyah hidup dalam lingkungan yang memusuhi Islam dan Nabi Muhammad SAW.

Konversi Shafiyah ke Islam

Saat Perang Khaibar pada tahun ke-7 Hijriah, Shafiyah menjadi tawanan pasukan Muslim. Awalnya, Shafiyah diberikan kepada Dihyah al-Kalbi, namun karena kedudukannya sebagai putri pemimpin, para sahabat merasa lebih pantas jika Rasulullah yang memilikinya.

Rasulullah kemudian memberikan tiga pilihan kepada Shafiyah: memeluk Islam dan dinikahi beliau, tetap sebagai tawanan dengan agama Yahudi, atau kembali kepada keluarganya sebagai wanita merdeka. Shafiyah memilih memeluk Islam dan menikah dengan Nabi. Pernikahan mereka dilangsungkan di daerah Shahba dalam perjalanan pulang dari Khaibar dengan mahar berupa kemerdekaannya.

Hubungan Shafiyah dengan Nabi

Meskipun berasal dari latar belakang Yahudi, Shafiyah mendapatkan tempat istimewa di hati Rasulullah. Namun, ia sering menghadapi pandangan sinis dari istri-istri Nabi lainnya karena asal-usulnya. Bahkan, Aisyah dan Hafshah pernah memanggilnya dengan sebutan "anak perempuan Yahudi."

Menghadapi hal tersebut, Rasulullah selalu membela Shafiyah dengan mengatakan, "Bagaimana engkau semua lebih baik daripada Shafiyah? Suaminya Muhammad, ayahnya Harun, dan pamannya Musa." Pernyataan ini menunjukkan bagaimana Rasulullah menghargai garis keturunan Shafiyah dan menolak diskriminasi.

Shafiyah tetap setia kepada Islam hingga wafatnya pada tahun 50 Hijriah pada masa kekhalifahan Muawiyah. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi' di Madinah.

Ummu Habibah binti Abu Sufyan

Ramlah binti Abu Sufyan, lebih dikenal sebagai Ummu Habibah, menunjukkan kesetiaan luar biasa terhadap Islam meskipun berasal dari keluarga pemuka Quraisy yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW. Putri dari Abu Sufyan ini memeluk Islam pada masa awal dakwah, berbeda jauh dengan ayahnya yang menjadi salah satu pemimpin terkemuka kaum musyrikin.

Hijrah Ummu Habibah ke Habasyah

Pada tahun 615 M, Ummu Habibah bersama suaminya, Ubaidillah bin Jahsy, memutuskan untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) demi menyelamatkan iman mereka dari penindasan kaum Quraisy di Mekkah. Di tanah hijrah inilah Ummu Habibah melahirkan putrinya yang bernama Habibah, sehingga sejak itu ia dijuluki "Ummu Habibah" (ibu dari Habibah). Namun, kehidupannya di perantauan tidak selalu mudah. Suatu ketika, ia bermimpi melihat suaminya dalam keadaan sangat buruk, dan tak lama kemudian mimpi tersebut menjadi kenyataan ketika Ubaidillah murtad dari Islam dan memeluk agama Nasrani.

Keteguhan iman meski berasal dari keluarga Quraisy

Meskipun ditinggalkan suami yang murtad dan jauh dari keluarga, Ummu Habibah tetap teguh mempertahankan keimanannya. Bahkan ketika Ubaidillah mencoba mengajaknya masuk Nasrani, ia menolak dengan tegas. Kesetiaannya terhadap Islam semakin terlihat ketika ayahnya, Abu Sufyan, mengunjunginya di Madinah. Saat Abu Sufyan hendak duduk di tikar Rasulullah, Ummu Habibah segera melipatnya sambil berkata, "Ini adalah tikar Rasulullah, sementara engkau masih musyrik. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya."

Pernikahan Ummu Habibah dan peran diplomatiknya

Setelah masa iddahnya berakhir, Allah memberi kabar gembira kepada Ummu Habibah melalui mimpi dimana seseorang memanggilnya dengan sebutan "Ummul Mukminin". Tak lama kemudian, Rasulullah SAW mengirim utusan kepada Raja Najasyi untuk meminangnya. Pernikahan dilangsungkan di Habasyah dengan mahar sebesar 400 dinar, dan Raja Najasyi sendiri yang mewakili Rasulullah dalam akad tersebut.

Pernikahan ini memiliki dampak diplomatik penting karena menjadi salah satu faktor yang melunakkan sikap Abu Sufyan terhadap Islam dan membuka jalan bagi penaklukan Mekkah tanpa pertumpahan darah. Ummu Habibah wafat pada tahun 44 Hijriah pada masa pemerintahan saudaranya, Mu'awiyah bin Abu Sufyan.

Maimunah binti al-Harith

Perjalanan hidup Maimunah binti al-Harith menjadi penutup indah dalam silsilah pernikahan Rasulullah SAW. Beliau dikenal sebagai wanita mulia yang memeluk Islam dengan tulus meski keluarganya masih berada dalam kepercayaan jahiliyah.

Latar belakang Maimunah binti al-Harith

Maimunah lahir dengan nama Barrah binti al-Harith bin Hazan bin Bujair. Ia berasal dari keluarga bangsawan Bani Hilal yang terpandang. Ibunya bernama Hindun binti Auf bin Zuhair, sementara saudara perempuannya adalah Ummu Fadhl, istri Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi Muhammad SAW). Jalur kekerabatan ini menjadikan Maimunah sebagai bibi dari Abdullah bin Abbas dan Khalid bin Walid.

Sebelum menikah dengan Rasulullah, Maimunah pernah menjadi istri dari Abu Rahm bin Abdul Uzza yang meninggal saat Maimunah berusia 36 tahun dalam keadaan masih musyrik. Meskipun hidup di lingkungan non-muslim, keimanan Maimunah kepada Allah sudah tertanam kuat, namun masih disembunyikan.

Istri terakhir Nabi Muhammad SAW

Pernikahan Maimunah dengan Rasulullah SAW terjadi pada tahun ke-7 Hijriah saat beliau melaksanakan umrah ke Makkah. Keinginan Maimunah untuk menikah dengan Nabi disampaikan melalui saudaranya, Ummu Fadhl, yang kemudian diteruskan oleh Abbas kepada Rasulullah.

Rasulullah menerima pinangan tersebut dengan mahar 400 dirham. Namun, pemuka Quraisy menolak pesta pernikahan diselenggarakan di Makkah. Akhirnya, walimah dilangsungkan di daerah Sarfan, sekitar 10 mil dari Makkah. Pernikahan ini membuktikan kebenaran ayat Allah dalam Surah Al-Ahzab ayat 50 tentang wanita mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi.

Peran Maimunah dalam akhir kehidupan Nabi

Di Madinah, Maimunah menunaikan kewajibannya sebagai istri dengan sebaik-baiknya. Beliau dikenal sebagai perempuan yang taat, setia, dan memiliki akhlak terpuji. Aisyah pernah berkata, "Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami."

Maimunah juga menjadi perawi hadits dengan meriwayatkan 76 hadits dari Nabi Muhammad SAW. Setelah Rasulullah wafat, beliau masih hidup sekitar 50 tahun lamanya dan terus meneruskan ajaran Islam. Maimunah wafat pada usia 80 tahun di tahun 61 Hijriah pada masa khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Sebelum meninggal, beliau berpesan agar dimakamkan di tempat pernikahannya dengan Rasulullah SAW sebagai bukti kesetiaan abadi.

FAQS

  1. Berapa jumlah istri Nabi Muhammad SAW? Jumlah istri Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam berbagai sumber bervariasi. Ada yang menyebutkan bahwa beliau memiliki 11 istri, sementara sumber lain menyebutkan 13 istri. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya dua wanita yang dinikahi Nabi namun belum dikumpuli.

  2. Apakah semua istri Nabi Muhammad SAW masih perawan saat dinikahi? Tidak, dari 13 istri Nabi Muhammad SAW, hanya Aisyah yang dinikahi dalam keadaan masih gadis. Istri-istri lainnya dinikahi dalam status janda dan tidak lagi muda.

  3. Apa tujuan Nabi Muhammad SAW menikahi banyak wanita? Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan para istrinya bukanlah didasarkan pada hawa nafsu, melainkan memiliki tujuan untuk berdakwah. Allah SWT mengizinkan Nabi Muhammad SAW untuk menikah dengan lebih dari 4 orang wanita sebagai pengecualian khusus.

  4. Siapa saja istri Nabi Muhammad SAW yang meninggal saat beliau masih hidup? Dua istri Nabi Muhammad SAW yang meninggal saat beliau masih hidup adalah Siti Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah.

  5. Apakah ada istri Nabi Muhammad SAW yang berasal dari budak? Ya, Nabi Muhammad SAW memiliki dua istri yang berasal dari budak yang pernah dimerdekakannya. Mereka adalah Mariyah binti Syam'un dan Raihanah binti Zaid.

  6. Apa keistimewaan para istri Nabi Muhammad SAW? Para istri Nabi Muhammad SAW adalah wanita-wanita pilihan yang memiliki karakter mulia. Mereka dikenal sebagai ahli ibadah, tidak malu bergaul dengan orang miskin, dan gemar bersedekah. Sebagian besar dari mereka dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW atas perintah Allah SWT.

  7. Berapa jumlah istri Nabi Muhammad SAW saat beliau wafat? Menurut Abdul Hasan 'Ali al-Hasani an-Nadwi dalam Sirah Nabawiyah, tidak ada perbedaan pendapat bahwa Nabi Muhammad SAW wafat dengan meninggalkan 9 orang istri.

  8. Siapa di antara istri Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai "ibu para fakir miskin"? Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah menyebutkan bahwa Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah dikenal sebagai ibu para fakir miskin.

  9. Apakah semua pernikahan Nabi Muhammad SAW didasarkan pada perintah Allah SWT? Sebagian besar pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan para istrinya dilakukan atas perintah Allah SWT. Namun, tidak semua pernikahan beliau secara eksplisit disebutkan sebagai perintah langsung dari Allah SWT.

  10. Bagaimana karakter para istri Nabi Muhammad SAW? Para istri Nabi Muhammad SAW dikenal memiliki karakter yang mulia. Mereka adalah wanita-wanita yang sangat taat menjalankan perintah Allah SWT, gemar bersedekah, dan memiliki kepedulian terhadap orang-orang miskin.

Invite your friends to join as an Involve Partner & earn an RM5 bonus for each referral. The more friends you refer, the more rewards you stand to earn. It’s simple and hassle-free!

Posting Komentar

Involve Asia Publisher referral program (CPA)
Involve Asia Publisher referral program (CPA)