
Siti Manggopoh, dikenal sebagai "Singa Betina" dari Ranah Minang, merupakan sosok pahlawan wanita yang berasal dari Sumatera Barat. Perjuangannya melawan kolonial Belanda di awal abad ke-20 menjadi bukti keberanian dan keteguhan hati seorang perempuan Minangkabau. Siti Manggopoh memimpin perlawanan terhadap kebijakan pajak yang memberatkan masyarakat, khususnya di wilayah Agam dan Padang Pariaman.
Artikel ini akan mengulas latar belakang kehidupan Siti Manggopoh, awal perjuangannya melawan kolonialisme, dan perannya dalam Perang Belasting. Selain itu, kita akan melihat konsekuensi yang dia hadapi akibat perlawanannya, serta warisan dan penghargaan yang diberikan atas jasanya. Kisah Siti Manggopoh tidak hanya menggambarkan semangat juang seorang individu, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai adat Minangkabau dan perjuangan masyarakat Sumatera Barat dalam mempertahankan harta pusaka mereka dari cengkeraman penjajah.
Latar Belakang Kehidupan Siti Manggopoh
Kelahiran dan Keluarga
Siti Manggopoh lahir pada 15 Juni 1881 di Nagari Manggopoh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ia merupakan anak bungsu dari enam bersaudara dan satu-satunya perempuan di antara mereka. Kelahiran Siti disambut dengan gembira oleh orang tua dan saudara-saudaranya. Meskipun berasal dari keluarga petani biasa, Siti tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang.
Kelima kakak laki-lakinya sangat menyayangi Siti dan sering membawanya ke berbagai tempat, seperti pasar, kedai, sawah, dan bahkan gelanggang persilatan. Pengalaman ini membantu membentuk karakter Siti sejak dini dan memperkenalkannya pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Minangkabau.
Pendidikan di Surau
Pada masa itu, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal sangat terbatas, terutama bagi perempuan. Namun, semangat belajar Siti Manggopoh tak terbendung. Ia menuntut ilmu di surau bersama kakak-kakaknya, memperdalam pengetahuan agama Islam, dan bahkan mempelajari seni bela diri.
Di surau, Siti belajar mengaji dan mempelajari adat istiadat Minangkabau. Pendidikan di surau ini menjadi fondasi penting dalam pembentukan karakter dan pemahaman Siti tentang nilai-nilai budaya dan agama. Selain itu, di surau pula semangat anti-imperialisme mulai tumbuh dalam diri Siti Manggopoh.
Pernikahan Muda
Ketika beranjak remaja, pada usia 15 tahun, Siti dinikahkan oleh orang tuanya dengan Rasyid, yang juga dikenal sebagai Bagindo Magek. Pernikahan ini bukan hanya sekadar ikatan adat, tetapi juga menjadi awal dari perjuangan bersama melawan kolonialisme.
Siti dan Rasyid memiliki visi yang sama untuk mengusir penjajah dari tanah Minangkabau. Pernikahan mereka tidak membatasi Siti dalam peran domestik, melainkan memperkuat tekadnya untuk berjuang. Bersama suaminya, Siti bahu-membahu berupaya melepaskan penderitaan rakyat Minangkabau dari cengkeraman kolonial Belanda.
Dari pernikahan tersebut, Siti dan Rasyid dikaruniai seorang anak perempuan bernama Dalima. Meskipun memiliki tanggung jawab sebagai ibu, hal ini tidak menghalangi Siti untuk tetap aktif dalam perjuangan melawan penjajah di Ranah Minang.
Awal Perjuangan Melawan Kolonialisme
Penerapan Sistem Belasting
Pada awal Maret 1908, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem pajak yang dikenal sebagai Belasting di Sumatera Barat. Kebijakan ini mencakup berbagai jenis pajak, seperti pajak kepala, pajak tanah, dan pajak rumah tangga. Penerapan Belasting ini dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau, di mana tanah merupakan milik komunal atau kaum. Masyarakat Minangkabau merasa terhina karena harus membayar pajak atas tanah yang telah dimiliki secara turun-temurun.
Pembentukan Kelompok Perlawanan
Siti Manggopoh, yang merasa geram dengan kebijakan Belasting, memutuskan untuk membentuk kelompok perlawanan. Bersama suaminya, Rasyid Bagindo Magek, Siti mengorganisir sebuah kelompok yang terdiri dari 17 orang. Mereka mengadakan pertemuan rahasia di Surau Kampung Parit, yang kini dikenal sebagai Masjid Pahlawan. Di sana, mereka merumuskan strategi perlawanan terhadap Belanda.
Strategi Penyusupan
Siti Manggopoh menggunakan kecerdasannya untuk menyusun siasat yang efektif. Salah satu strategi utama yang digunakan adalah penyusupan. Siti sendiri berperan sebagai mata-mata, menyamar sebagai wanita penggoda untuk masuk ke benteng Belanda dan menghitung kekuatan lawan. Meskipun sudah memiliki dua anak, Siti masih memiliki penampilan yang menarik, yang memudahkannya untuk menyusup tanpa dicurigai.
Kelompok perlawanan Siti Manggopoh juga memanfaatkan kondisi alam untuk mendukung strategi mereka. Mereka sering berlatih dan merencanakan serangan di Padang Mardani, sebuah area yang dianggap angker oleh Belanda. Hal ini membantu mereka menyembunyikan pergerakan mereka dari pengawasan penjajah.
Strategi penyerangan yang disusun oleh Rasyid membagi kelompok menjadi dua. Kelompok pertama bertugas menyusup ke dalam benteng dan mematikan lampu, sementara kelompok kedua mengawasi pintu dan jendela untuk mencegah pelarian tentara Belanda. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang cermat, Siti Manggopoh dan kelompoknya berhasil melancarkan serangan yang efektif terhadap benteng Belanda di Manggopoh.
Perang Belasting
Serangan ke Benteng Belanda
Pada malam 15 Juni 1908, Siti Manggopoh dan kelompok perlawanannya melancarkan serangan terhadap benteng Belanda di Manggopoh, Sumatera Barat. Siti, yang dijuluki "Singa Betina" dari Ranah Minang, memimpin pasukan yang terdiri dari 17 orang pejuang. Dengan strategi yang cermat, Siti menyusup ke dalam benteng Belanda sebagai wanita penggoda, memanfaatkan kecantikannya untuk mengecoh penjaga.
Setelah berhasil masuk, Siti memadamkan lampu di dalam benteng, memberikan sinyal kepada pasukannya untuk menyerang. Dalam kegelapan, pertempuran sengit terjadi antara pejuang Minangkabau dan tentara Belanda. Strategi ini terbukti efektif, mengejutkan pasukan kolonial yang tidak siap menghadapi serangan mendadak.
Keberhasilan Membunuh 53 Tentara
Perlawanan yang dipimpin oleh Siti Manggopoh berhasil menewaskan 53 dari 55 serdadu Belanda yang bertugas di benteng tersebut. Keberhasilan ini menunjukkan keberanian dan kecerdikan Siti dalam memimpin pasukan melawan penjajah. Hanya dua tentara Belanda yang berhasil meloloskan diri, meskipun dalam keadaan terluka parah.
Keberhasilan ini menjadi bukti nyata perlawanan rakyat Minangkabau terhadap kebijakan pajak (belasting) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pajak ini dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau dan menjadi pemicu utama perlawanan di Manggopoh.
Dampak Penyerangan
Serangan yang dipimpin Siti Manggopoh membuat pihak Belanda kalang kabut. Dua tentara yang selamat melarikan diri ke Lubuk Basung untuk meminta bantuan. Sebagai balasan, Belanda mengirim pasukan tambahan dari Bukittinggi dan Padang Pariaman untuk memburu para pejuang.
Akibat penyerangan ini, Manggopoh menjadi daerah yang terisolasi. Belanda menutup semua akses jalan menuju Nagari Manggopoh, membuat wilayah ini terkucil. Pihak kolonial juga melakukan penangkapan massal terhadap masyarakat Manggopoh yang dicurigai terlibat dalam perlawanan.
Meskipun menghadapi konsekuensi berat, perlawanan Siti Manggopoh menjadi simbol semangat juang rakyat Sumatera Barat dalam mempertahankan harta pusaka dan melawan ketidakadilan kolonial. Kisah keberanian Siti Manggopoh terus dikenang sebagai bagian penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Konsekuensi Perlawanan
Pengejaran oleh Belanda
Setelah penyerangan yang dipimpin oleh Siti Manggopoh terhadap benteng Belanda di Manggopoh, pihak kolonial Belanda melakukan aksi balasan yang keras. Mereka mendatangkan pasukan tambahan dari Bukittinggi dan Padang Pariaman untuk memburu para pejuang yang terlibat dalam serangan tersebut. Belanda kemudian memporak-porandakan Manggopoh dan melakukan patroli intensif ke perkampungan penduduk, mencari orang-orang yang telah menyerang markas mereka.
Akibat perlawanan ini, Manggopoh menjadi daerah yang terisolasi. Belanda menutup semua akses jalan menuju Nagari Manggopoh, membuat wilayah ini terkucil dari dunia luar. Tindakan ini bertujuan untuk memutus komunikasi dan dukungan dari daerah lain terhadap para pejuang Minangkabau.
Belanda juga melakukan tindakan represif terhadap penduduk Manggopoh. Mereka tidak segan-segan membunuh rakyat yang menolak memberitahu keberadaan Siti Manggopoh dan kelompok perlawanannya. Tindakan kejam ini menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat dan mempersulit pergerakan para pejuang.
Penangkapan dan Pembuangan
Setelah periode pengejaran yang intens, Siti Manggopoh akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda. Keputusan ini diambil untuk menghentikan penderitaan rakyat Manggopoh yang terus menjadi sasaran kekejaman Belanda. Suami Siti, Rasyid Bagindo Magek, juga tertangkap dalam operasi penangkapan ini.
Siti Manggopoh mengalami serangkaian penahanan di berbagai penjara. Awalnya, dia ditahan di penjara Lubuk Basung selama 14 bulan. Kemudian, dia dipindahkan ke penjara Pariaman dan mendekam di sana selama 16 bulan. Akhirnya, Siti dipindahkan ke penjara utama di Padang, di mana dia menjalani hukuman terakhirnya selama 12 bulan.
Setelah melalui proses peradilan, Siti Manggopoh divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Sisa hukumannya dijalani di Penjara Padang. Sementara itu, suaminya, Rasyid Bagindo Magek, dibuang ke Manado sebagai bagian dari hukuman atas keterlibatannya dalam perlawanan.
Meskipun menghadapi konsekuensi berat atas perlawanannya, semangat juang Siti Manggopoh tidak pernah padam. Perjuangannya melawan ketidakadilan kolonial Belanda, terutama dalam menentang sistem pajak yang memberatkan rakyat Minangkabau, tetap dikenang sebagai bagian penting dari sejarah perlawanan di Sumatera Barat.
Warisan dan Penghargaan
Penetapan sebagai Perintis Kemerdekaan
Perjuangan Siti Manggopoh dalam melawan kolonialisme Belanda di Sumatera Barat tidak berlalu begitu saja. Meskipun belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, pemerintah Indonesia telah mengakui jasa-jasa Siti Manggopoh dan menetapkannya sebagai Perintis Kemerdekaan sejak tahun 1964. Penetapan ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor Pol: 1379/64/P.K. Lembaran Negara nomor 19/1964, tertanggal 17 Januari 1964.
Pengakuan ini merupakan bentuk penghargaan atas keberanian dan pengorbanan Siti Manggopoh dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Minangkabau dan melawan ketidakadilan sistem pajak yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Penetapan sebagai Perintis Kemerdekaan juga menunjukkan bahwa perjuangan Siti Manggopoh memiliki dampak yang signifikan terhadap pergerakan kemerdekaan Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera Barat.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya, jenazah Siti Manggopoh dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang. Pemakaman ini dilakukan setelah Siti Manggopoh meninggal dunia pada 20 Agustus 1965 di Gasan Gadang, Padang Pariaman.
Pengaruh terhadap Pergerakan Nasional
Perjuangan Siti Manggopoh dalam Perang Belasting di Manggopoh, Agam, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan nasional Indonesia. Keberaniannya dalam memimpin perlawanan terhadap kebijakan pajak kolonial Belanda menjadi inspirasi bagi banyak pejuang lainnya, terutama di kalangan perempuan.
Siti Manggopoh, yang dijuluki "Singa Betina dari Manggopoh", menunjukkan bahwa perempuan juga mampu berperan aktif dalam perjuangan melawan penjajahan. Kegigihannya dalam mempertahankan harta pusaka dan adat Minangkabau dari cengkeraman kolonial Belanda menjadi contoh bagi generasi berikutnya tentang pentingnya mempertahankan identitas dan hak-hak bangsa.
Peran Siti Manggopoh dalam pergerakan nasional juga menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya terbatas pada kaum laki-laki. Ia menjadi salah satu tokoh perempuan yang ikut mewarnai dinamika pergerakan nasional pada awal abad ke-20. Keberaniannya dalam memimpin penyerangan terhadap benteng Belanda di Manggopoh menjadi bukti nyata kontribusi perempuan dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Warisan perjuangan Siti Manggopoh terus dikenang dan dilestarikan oleh masyarakat Sumatera Barat, khususnya di Manggopoh. Kisah kepahlawanannya menjadi bagian penting dari sejarah lokal dan nasional, serta terus menginspirasi generasi muda untuk mencintai tanah air dan mempertahankan hak-hak bangsa.
Kesimpulan
Kisah Siti Manggopoh menyoroti semangat juang yang luar biasa dari seorang perempuan Minangkabau dalam melawan ketidakadilan kolonial. Keberaniannya memimpin perlawanan terhadap sistem Belasting membuktikan bahwa perempuan juga bisa memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan. Perjuangannya tidak hanya membawa dampak pada masyarakat Sumatera Barat, tapi juga memberikan inspirasi bagi gerakan nasional yang lebih luas.
Meskipun harus menanggung hukuman berat, semangat Siti Manggopoh tak pernah padam. Pengakuannya sebagai Perintis Kemerdekaan menunjukkan betapa berharganya sumbangsih beliau terhadap bangsa. Kisah kepahlawanan Siti Manggopoh terus hidup, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga warisan budaya dan mempertahankan hak-hak bangsa dari segala bentuk penindasan.
FAQS
Siapakah Siti Manggopoh? Siti Manggopoh adalah seorang pejuang wanita dari Sumatera Barat yang lahir di Manggopoh, Agam, pada tahun 1880. Ia terkenal karena keberaniannya dalam memimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda, khususnya dalam Perang Belasting pada tahun 1908.
Apa yang dimaksud dengan Perang Belasting? Perang Belasting adalah perlawanan yang terjadi akibat penerapan sistem pajak yang berlebihan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap masyarakat Minangkabau. Perang ini menyatukan berbagai elemen masyarakat untuk melawan kebijakan pajak yang dianggap tidak adil.
Bagaimana strategi penyerangan yang dilakukan Siti Manggopoh? Siti Manggopoh menggunakan strategi penyusupan dengan berpura-pura sebagai ibu yang menggendong bayinya untuk mengintai kondisi benteng Belanda. Ia kemudian memimpin sekelompok pasukan untuk menyerang benteng tersebut pada malam hari, hanya berbekal senjata tradisional seperti parang, keris, dan ladiang.
Berapa banyak pasukan Belanda yang berhasil dikalahkan oleh Siti Manggopoh? Dalam penyerangan yang dipimpin oleh Siti Manggopoh, pasukannya berhasil membunuh 53 pasukan penjaga Belanda yang berada di dalam benteng.
Apa konsekuensi yang dihadapi Siti Manggopoh setelah perlawanannya? Setelah perlawanannya, Siti Manggopoh ditangkap dan menjalani hukuman penjara di beberapa tempat, termasuk Lubuk Basung, Pariaman, dan Padang. Ia dijatuhi hukuman 4 tahun penjara atas keterlibatannya dalam perlawanan tersebut.
Apakah Siti Manggopoh diakui sebagai Pahlawan Nasional? Meskipun belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, pemerintah Indonesia telah mengakui jasa-jasa Siti Manggopoh dengan menetapkannya sebagai Perintis Kemerdekaan sejak tahun 1964.
Di mana Siti Manggopoh dimakamkan? Jenazah Siti Manggopoh dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Lolong, Padang, setelah ia wafat pada 20 Agustus 1965 di Gasan Gadang, Pariaman, Sumatera Barat.
Apa julukan yang diberikan kepada Siti Manggopoh? Siti Manggopoh dijuluki sebagai "Singa Betina dari Manggopoh" karena keberaniannya dalam memimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda di Ranah Minang.
Bagaimana pengaruh perjuangan Siti Manggopoh terhadap pergerakan nasional? Perjuangan Siti Manggopoh menjadi inspirasi bagi banyak pejuang lainnya, terutama di kalangan perempuan. Ia menunjukkan bahwa perempuan juga mampu berperan aktif dalam perjuangan melawan penjajahan dan mempertahankan harta pusaka serta adat Minangkabau.
Apa motto hidup Siti Manggopoh? Motto hidup Siti Manggopoh yang terkenal adalah "Setapak takkan mundur, selangkah takkan kembali", yang mencerminkan tekad dan kegigihannya dalam berjuang melawan kolonial Belanda.
Pertanyaan-pertanyaan ini memberikan gambaran singkat tentang sosok Siti Manggopoh, perjuangannya melawan kolonial Belanda di Sumatera Barat, dan warisan yang ditinggalkannya bagi bangsa Indonesia. Kisah kepahlawanannya terus menginspirasi generasi muda untuk mencintai tanah air dan mempertahankan hak-hak bangsa.