Pacaran, zina, dan selingkuh dalam Islam memiliki hukum yang tegas dan jelas. Ajaran Islam melarang keras praktik pacaran sebelum menikah karena dianggap membuka peluang besar terjadinya zina. Al-Qur'an dengan tegas menyatakan, "Janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk" (QS. Al-Isra' ayat 32).
Meskipun pacaran sendiri bukan merupakan perbuatan zina, namun aktivitas tersebut termasuk dalam kategori 'mendekati zina' yang jelas dilarang dalam ajaran Islam. Hal ini diperkuat oleh hadis yang menyebutkan bahwa jika seorang laki-laki dan perempuan berduaan, maka yang ketiganya adalah setan. Sementara itu, selingkuh dalam pernikahan dipandang sebagai tindakan yang sangat tercela, dengan konsekuensi berat bagi pelakunya, khususnya bagi pelaku zina muhsan yang akan mendapatkan hukuman berat, baik dari masyarakat maupun secara syariat.
Apa hukum pacaran dalam agama Islam?
Hukum pacaran dalam Islam memiliki kedudukan yang tegas. Berdasarkan dalil dan perspektif syariat, pacaran termasuk kategori perbuatan yang dilarang. Berbagai sumber tekstual dan pandangan ulama memberikan kejelasan tentang status hukum ini.
Pacaran sebagai bentuk mendekati zina
Al-Qur'an dengan jelas melarang umat Islam untuk mendekati perbuatan zina. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Isra' ayat 32: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk." Ayat ini tidak hanya melarang zina itu sendiri tetapi juga segala hal yang mendekati atau membuka peluang terjadinya zina.
Dalam konteks ini, pacaran dianggap sebagai wasilah (jalan) menuju perbuatan zina karena beberapa alasan. Pertama, pacaran biasanya melibatkan khalwat (berduaan tanpa mahram), ikhtilat (interaksi bebas), dan bersentuhan dengan yang bukan mahram. Ketiga hal ini jelas dilarang dalam syariat Islam.
Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini dengan tegas melarang khalwat yang sering terjadi dalam praktik pacaran.
Selain itu, Rasulullah juga memperingatkan: "Tidak ada seorang laki-laki yang berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan." (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, dan al-Hakim). Ini menunjukkan bahwa khalwat dapat membuka pintu godaan dan potensi maksiat.
Pandangan ulama tentang pacaran
Para ulama telah menegaskan bahwa pacaran tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mayoritas ulama berpendapat bahwa pacaran hukumnya haram karena berpotensi menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa.
Sayyid Qutb menyoroti bahwa pacaran menyangkut kedekatan intim tanpa dasar nikah, yang berujung pada kerusakan moral masyarakat. Beliau mengaitkan perspektif budaya Islam kontemporer dengan kritik teologi dan sosial modern.
Dalam skripsi oleh Muhammad Riyadi yang dimuat di Jurnal Multidisiplin Inovatif, ditegaskan bahwa hadis Nabi SAW "la yakhluanakum bi imra'atin illa ma'a dzimahromin" melarang khalwat secara tegas, sehingga pacaran tanpa mahram otomatis haram.
Organisasi seperti Muhammadiyah juga menyatakan dengan jelas bahwa pacaran menurut arti umum (bercinta-cintaan) jelas dilarang oleh agama Islam. Sementara itu, beberapa ulama NU menjelaskan bahwa pacaran hanya dibolehkan jika dalam konteks khitbah (lamaran) dengan tetap menjaga batasan syariat.
Pacaran dalam konteks sosial modern
Meskipun hukumnya jelas, faktanya banyak remaja Muslim yang tetap menjalani hubungan pacaran. Dalam penelitian Analisis Pacaran dalam Perspektif Hadis oleh Azzahra Elisa Putri dkk. (UPI Purwakarta) menunjukkan bahwa remaja sering menganggap pacaran sebagai "support system" atau cara mengenali pasangan—meski sadar pacaran dilarang.
Fenomena ini mencerminkan jurang antara kesadaran syariah dan praktik nyata di masyarakat. Budaya modern telah menormalisasi pacaran sebagai tahap penting sebelum pernikahan, walaupun hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Skripsi di UIN Suska Riau menyebutkan bahwa pacaran modern berkaitan erat dengan kemerosotan moral akibat globalisasi dan budaya bebas. Oleh sebab itu, Islam memperkenalkan konsep taaruf sebagai alternatif yang lebih sehat dan sesuai syariat untuk mengenal calon pasangan.
Dalam taaruf, proses pengenalan dilakukan dengan pendamping (wali atau muhrim), sesuai penelitian Sabar Barokah di IAIN Purwokerto. Hal ini menjadi bentuk pendalaman dan eliminasi potensi dosa sebelum menikah, berbeda dengan pacaran yang sarat dengan godaan maksiat.
Kesimpulannya, meskipun praktik pacaran telah menjadi fenomena umum dalam masyarakat modern, hukum Islam tetap jelas dalam menyatakan bahwa pacaran yang melibatkan khalwat, sentuhan fisik, dan interaksi bebas antara lawan jenis adalah haram karena mendekati zina.
Mengapa pacaran dilarang dalam Islam
Islam melarang pacaran dengan alasan-alasan yang jelas dan kuat berdasarkan dalil syariat. Larangan ini bukan sekadar pembatasan, melainkan bentuk perlindungan Allah SWT terhadap hamba-Nya. Menjauhi pacaran dipandang sebagai cara untuk melindungi kesucian dan kehormatan diri seorang muslim.
Dalil dari Al-Qur'an dan Hadis
Larangan pacaran dalam Islam berakar kuat pada dalil-dalil Al-Qur'an. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Isra' ayat 32: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." Ayat ini tidak hanya melarang zina itu sendiri, tetapi juga segala hal yang "mendekati" zina.
Pertama-tama, perlu dipahami bahwa ayat tersebut menggunakan kata "mendekati" (تَÙ‚ْرَبُوا), bukan hanya "melakukan" zina. Ini menunjukkan bahwa Islam melarang segala aktivitas yang berpotensi mengarah pada perbuatan zina, termasuk pacaran.
Selanjutnya, dalil dari hadis juga menguatkan larangan ini. Rasulullah SAW bersabda: "Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini dengan tegas melarang khalwat (berduaan) yang umum terjadi dalam aktivitas pacaran.
Pacaran membuka pintu maksiat
Pacaran membuka berbagai pintu maksiat yang sulit dikendalikan. Beberapa bahaya pacaran yang membuka pintu maksiat antara lain:
Zina mata dan pendengaran - Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW menjelaskan: "Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba.". Dalam pacaran, hampir tidak mungkin terhindar dari zina mata, pendengaran, dan lisan.
Membangkitkan hawa nafsu - Mereka yang berpacaran pasti akan merasakan timbulnya hawa nafsu. Bahkan, sekadar mendengar suara lembut pun bisa membangkitkan syahwat. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang pandangan (lawan jenis) yang (membangkitkan syahwat) tanpa disengaja. Lalu beliau memerintahkan aku mengalihkan (menundukkan) pandanganku" (HR. Muslim).
Dapat menyebabkan stres - Pacaran tidak hanya membawa kebahagiaan seperti yang sering digambarkan, tetapi juga dapat menimbulkan kecemasan dan stres. Seseorang yang berpacaran sering kali memiliki ketakutan tidak dicintai lagi atau dikhianati.
Menimbulkan hal yang tidak diinginkan - Pacaran yang terlalu ekstrim dapat menjerumuskan pada situasi yang tidak diinginkan, seperti kehamilan di luar nikah, yang sangat dilarang dalam Islam.
Khalwat dan godaan setan
Khalwat (berduaan) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram merupakan situasi yang sangat dihindari dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah setan".
Dalam hadis lain dijelaskan: "Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena sesungguhnya syaitan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya" (HR. Ahmad, Tirmidzi).
Allah SWT mengajarkan dalam Al-Qur'an Surah An-Nur ayat 30: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya...". Perintah ini jelas menunjukkan bahwa menjaga pandangan adalah kewajiban untuk menjauhkan diri dari godaan yang dapat menjerumus pada kemaksiatan.
Bahaya khalwat semakin besar ketika terjadi dalam mobil atau tempat tertutup lainnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, "Berkhalwat dalam mobil antara dua orang berlainan jenis ini lebih berbahaya daripada khalwat di sebuah rumah dan semisalnya. Sebab, sangat mungkin dan leluasa bagi si lelaki untuk pergi membawa si wanita ke mana saja".
Sesungguhnya, larangan pacaran dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Allah tidak ingin hamba-Nya terluka oleh cinta yang salah arah. Larangan pacaran bukan bentuk kekangan, melainkan perlindungan agar cinta tidak menjadi sumber dosa, tetapi menjadi jalan menuju surga.
Zina dalam Islam: definisi dan bahayanya
Perbuatan zina dalam ajaran Islam didefinisikan sebagai hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah. Zina termasuk dosa besar yang sangat dibenci Allah SWT. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk" (QS. Al-Isra: 32). Ayat ini tidak hanya melarang perbuatan zina itu sendiri, tetapi juga segala bentuk perbuatan yang mendekati zina.
Jenis-jenis zina menurut Islam
Dalam Islam, zina dibagi menjadi dua kategori utama. Pertama, zina haqiqi (zina sesungguhnya), yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Zina haqiqi terbagi menjadi dua jenis:
Zina Muhsan: Zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah atau pernah menikah. Hukuman bagi pelaku zina muhsan dalam syariat Islam adalah rajam (dilempari batu) hingga meninggal dunia.
Zina Ghairu Muhsan: Zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah. Hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun dari daerahnya.
Kedua, zina majazi (zina kiasan), yaitu perbuatan yang mengarah pada zina haqiqi meski belum sampai pada hubungan seksual. Menurut Imam Al-Khattabi, zina majazi merupakan dosa kecil yang setiap anak Adam sulit menghindar kecuali orang yang berada dalam perlindungan Allah SWT.
Zina hati, mata, dan perbuatan
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik, tetapi mencakup berbagai anggota tubuh. Beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Mata bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan. Zina kedua telinga adalah mendengar. Lidah bisa berzina, dan zinanya adalah perkataan. Tangan bisa berzina, dan zinanya adalah memegang. Kaki bisa berzina, dan zinanya adalah ayunan langkah. Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya" (HR Bukhari dan Muslim).
Bentuk-bentuk zina tersebut meliputi:
Zina mata (ain): Terjadi ketika seseorang memandang lawan jenis dengan nafsu dan syahwat.
Zina hati (qalbi): Memikirkan atau mengkhayalkan hal-hal yang tidak pantas tentang lawan jenis.
Zina lisan: Berbicara hal-hal yang mesum atau tidak pantas.
Zina tangan (yadin): Menyentuh atau meraba bagian tubuh lawan jenis yang bukan mahram.
Zina kaki: Melangkahkan kaki menuju tempat maksiat atau lokasi yang dapat mendorong perbuatan zina.
Meskipun zina majazi dianggap sebagai dosa kecil, namun tidak boleh diremehkan karena dapat mengarah pada zina haqiqi jika terus-menerus dilakukan.
Dampak spiritual dan sosial zina
Perbuatan zina memiliki dampak negatif yang sangat besar, baik secara spiritual maupun sosial. Beberapa dampak tersebut antara lain:
Dampak spiritual:
Menurunkan kualitas iman dan menghilangkan sifat wara' (menjaga diri dari dosa).
Mendapatkan murka Allah SWT dan menutup pintu rahmat-Nya.
Menghitamkan wajah dan hati pelakunya.
Kegelisahan dan kesempitan hati yang terus-menerus.
Menyebabkan pelakunya jauh dari surga dan pahala akhirat.
Dampak sosial:
Merusak kehormatan dan harga diri di masyarakat.
Menurunkan wibawa dan kepercayaan orang lain.
Mendapatkan sanksi sosial seperti dikucilkan atau bahkan diusir dari masyarakat.
Merusak nasab dan garis keturunan.
Menyebarkan penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS dan penyakit kelamin lainnya.
Selain itu, zina juga berdampak pada kemiskinan dan perpendekan umur. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, seseorang yang melakukan perbuatan zina akan mengejar kepuasan nafsunya dan mengeluarkan sejumlah materi untuk memenuhi hasratnya, sehingga dapat menyebabkan kemiskinan. Perbuatan zina juga dapat menyebabkan umur seseorang berkurang karena berisiko terjangkit penyakit mematikan.
Dengan demikian, Islam melarang keras perbuatan zina dalam segala bentuknya untuk melindungi kesucian, kehormatan, dan keselamatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Selingkuh menurut Islam: apakah termasuk zina?
Perselingkuhan merupakan masalah serius dalam pandangan Islam, memiliki kedudukan yang jelas dalam syariat. Untuk memahami status hukum perselingkuhan, penting untuk mengetahui bagaimana Islam memandang hubungan di luar ikatan yang sah.
Perbedaan selingkuh dan zina
Pada dasarnya, selingkuh dan zina memiliki keterkaitan erat namun tetap berbeda dalam definisinya. Selingkuh adalah ketidakjujuran dan pengkhianatan terhadap pasangan, berupa kecurangan dalam hubungan cinta. Biasanya perselingkuhan diikuti dengan perbuatan-perbuatan mendekati zina bahkan perzinaan itu sendiri dengan selingkuhannya.
Sementara itu, zina dalam Islam secara spesifik didefinisikan sebagai hubungan layaknya suami istri yang terjadi di luar pernikahan, sebagaimana pendapat Imam al-Syafi'i. Dengan demikian, selingkuh dapat menjadi pintu menuju zina, meskipun tidak selalu melibatkan hubungan fisik. Dalam konteks Islam, keduanya termasuk perbuatan yang dilarang keras.
Selingkuh dalam pacaran vs pernikahan
Perselingkuhan dalam Islam dinilai secara berbeda tergantung konteksnya. Perlu ditegaskan bahwa perselingkuhan ini ditujukan kepada pasangan suami istri bukan pada orang yang menjalin hubungan pacaran, karena dalam Islam pacaran sendiri adalah larangan. Oleh karena itu, konteks selingkuh dalam pacaran tidak relevan dalam pandangan Islam.
Berbeda dengan itu, selingkuh dalam pernikahan merupakan tindakan yang sangat tercela. Perselingkuhan dalam pernikahan disebut sebagai zina muhsan, yaitu zina yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah, dan hukumannya sangat berat. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW, pelaku zina muhsan dijatuhi hukuman rajam hingga meninggal dunia.
Buya Yahya menjelaskan bahwa selingkuh berarti seseorang melakukan hubungan yang haram, padahal ia sudah memiliki pasangan yang halal. "Selingkuh maknanya adalah melakukan hubungan haram sudah punya yang halal, naudzubillah," ujar Buya Yahya.
Hukum selingkuh dalam Islam
Hukum perselingkuhan dalam Islam jelas diharamkan sebab termasuk perbuatan zina. Rasulullah SAW melarang keras seseorang mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain, sebagaimana dalam hadits:
"Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya" (HR Abu Dawud).
Selain itu, dalam hadits lain Rasulullah SAW juga melarang perempuan untuk menuntut seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan maksud menguasai apa yang telah menjadi hak istrinya selama ini.
Menurut ulama Mazhab Malikiyah, apabila ada lelaki berselingkuh atau merusak hubungan suami istri orang lain, dan kemudian menikahi selingkuhannya maka pernikahannya itu tidak sah dan batal. Namun, mazhab Syafii memperbolehkan menikahi selingkuhannya, apabila seseorang yang menjadi selingkuhannya telah bercerai dan habis masa idahnya.
Perselingkuhan memiliki konsekuensi berat, termasuk tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, salah satunya adalah orang tua yang berzina. Allah juga mengancam para pelaku dengan siksaan yang menghinakan, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Furqan ayat 68.
Zina muhsan dan hukuman beratnya
Dalam syariat Islam, zina merupakan dosa besar yang memiliki tingkatan dan hukuman berbeda. Salah satu jenis zina yang memiliki konsekuensi paling berat adalah zina muhsan, sebuah pelanggaran moral yang menjadi perhatian khusus dalam hukum Islam.
Apa itu zina muhsan?
Zina muhsan merupakan perbuatan zina yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah atau pernah menikah. Definisi ini mencakup siapa saja yang berstatus sebagai suami, istri, janda, atau duda yang pernah melakukan hubungan badan secara sah melalui pernikahan. Dengan kata lain, zina muhsan adalah ketika seseorang yang telah atau pernah menikah tidak mampu menjaga diri dari hubungan terlarang dengan orang yang bukan mahramnya secara sadar dan tanpa paksaan.
Dalam terminologi fikih, seseorang disebut muhsan apabila telah baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (bukan budak), dan pernah melakukan jima' (hubungan seksual) dalam ikatan pernikahan yang sah. Zina muhsan dianggap lebih berat dibandingkan zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, karena pelakunya sudah memiliki jalan halal untuk menyalurkan hasrat seksualnya namun tetap memilih jalan yang haram.
Hukuman rajam dalam syariat
Hukuman bagi pelaku zina muhsan dalam Islam adalah rajam, yaitu dilempari batu hingga meninggal dunia. Dasar hukum rajam bersumber dari Al-Qur'an, hadits mutawatir, dan ijma' (konsensus) kaum muslimin. Meskipun ayat tentang rajam tidak tercantum dalam mushaf Al-Qur'an saat ini, namun hukum rajam tetap diberlakukan berdasarkan sunnah Rasulullah SAW dan ijma para sahabat.
Sebagaimana diriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: "Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam" (HR. Muslim).
Syarat pelaksanaan hukuman
Dalam penerapan hukuman rajam, terdapat beberapa syarat yang harus terpenuhi:
Pelaku adalah mukallaf - yaitu sudah baligh dan berakal sehat (tidak gila).
Perbuatan dilakukan atas kemauan sendiri - bukan karena paksaan atau diperkosa.
Pelaku mengetahui keharaman zina - meskipun belum tahu hukumannya.
Pelaku telah memenuhi kriteria muhsan - yaitu pernah melakukan hubungan seksual dalam pernikahan yang sah.
Terdapat bukti yang kuat - berupa pengakuan pelaku atau kesaksian empat orang saksi yang adil.
Selain itu, hukuman rajam hanya dapat diterapkan oleh penguasa Islam yang menegakkan syariat. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menetapkan hukuman, terutama untuk kasus-kasus berat seperti zina muhsan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa hukuman hanya dijatuhkan kepada orang yang benar-benar bersalah dan layak menerimanya.
Perlu dicatat bahwa jika pelaku telah bertaubat sebelum kasusnya sampai kepada penguasa Islam, maka hukuman had gugur darinya. Namun demikian, beratnya hukuman ini menunjukkan betapa Islam menolak keras perbuatan zina, khususnya yang dilakukan oleh mereka yang sudah menikah.
Faktor penyebab pacaran dan selingkuh
Perilaku pacaran dan perselingkuhan tidak terjadi begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Beberapa hal mendasar yang mendorong seseorang terjerumus dalam perbuatan ini perlu dipahami untuk menjauhinya secara efektif.
Lemahnya iman dan kontrol diri
Faktor utama yang menyebabkan seseorang terjebak dalam perbuatan pacaran dan selingkuh adalah lemahnya iman dan ketakwaan kepada Allah SWT. Ketika iman seseorang lemah, ia mudah tergoda oleh rayuan setan dan hawa nafsu. Psikologi Islam memahami bahwa tindakan seperti perselingkuhan bermula dari lemahnya pengendalian nafsu, dominasi nafs ammarah bis suu' (jiwa yang memerintahkan kepada keburukan), serta tipisnya keimanan.
Kurangnya pemahaman agama membuat seseorang lebih rentan terhadap godaan syahwat. Tanpa benteng keimanan yang kuat, godaan untuk berpacaran atau berselingkuh menjadi sulit ditolak. Kejauhan dari Allah berarti kehilangan rasa takut dan malu atas pengawasan-Nya.
Selain itu, kontrol diri yang lemah menjadi penyebab seseorang tidak mampu menjaga pandangan dan mengendalikan hawa nafsunya. Pada dasarnya, seseorang yang tidak mampu mengontrol dirinya akan lebih mudah tergoda oleh rayuan dan perhatian dari lawan jenis yang bukan mahramnya.
Pengaruh media dan tontonan
Kemudahan akses terhadap konten pornografi melalui internet dan media sosial menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya zina. Paparan terhadap konten-konten yang merangsang hasrat seksual dapat memicu seseorang melakukan perbuatan zina.
Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern yang membuka peluang terjadinya perselingkuhan digital (cyber infidelity). Banyak pasangan mengalami ketidakharmonisan, bahkan perceraian, akibat dampak negatif dari media sosial.
Faktanya, kemudahan komunikasi melalui aplikasi seperti Instagram, WhatsApp, Facebook, dan TikTok sering disalahgunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Nyanyian tidak islami dan film-film yang menampilkan percintaan terlarang juga dapat membawa seseorang kepada perbuatan zina.
Lingkungan pergaulan bebas
Lingkungan pergaulan yang buruk sangat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perbuatan pacaran dan selingkuh. Teman-teman yang memiliki perilaku bebas dan tidak bermoral bisa menjadi pengaruh negatif yang kuat. Penelitian menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan menyumbang angka hingga 70 persen terhadap perilaku selingkuh.
Pergaulan bebas adalah praktik interaksi sosial tanpa batasan moral dan norma sosial. Budaya permisif yang menormalisasi hubungan di luar nikah dalam budaya pop melemahkan sensitivitas terhadap dosa. Dengan demikian, penting untuk memilih lingkungan dan teman yang baik agar terhindar dari godaan pacaran dan zina.
Cara menjauhi zina dan menjaga diri
Menjauhkan diri dari perbuatan zina memerlukan strategi praktis yang berlandaskan ajaran Islam. Pencegahan terhadap perbuatan haram ini membutuhkan komitmen untuk menerapkan langkah-langkah konkret dalam kehidupan sehari-hari.
Menjaga pandangan dan pergaulan
Langkah pertama dalam menghindari zina adalah dengan menjaga pandangan. Allah SWT dengan jelas memerintahkan dalam Surah An-Nur ayat 30: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka'". Pandangan yang tidak terjaga sering menjadi pintu masuk godaan, karena apa yang terlihat bisa memicu hawa nafsu. Rasulullah SAW bersabda kepada Ali: "Wahai Ali, janganlah kamu susulkan pandangan pertamamu dengan pandangan kedua, karena yang dibolehkan untukmu hanya pandangan pertama yang tidak disengaja".
Selain itu, membatasi ikhtilath (percampuran) antara laki-laki dan perempuan tanpa batasan juga sangat penting. Hindari situasi khalwat (berduaan) dengan lawan jenis di tempat sepi. Jika harus berinteraksi karena pekerjaan atau pendidikan, jagalah agar interaksi tetap profesional dan sesuai kebutuhan.
Puasa sebagai perisai nafsu
Puasa merupakan perisai ampuh untuk mengendalikan nafsu. Rasulullah SAW bersabda: "Puasa adalah perisai" (HR. Bukhari dan Muslim). Makna puasa sebagai perisai (junnah) adalah puasa akan menjadi pelindung yang menghalangi pelakunya dari mengikuti godaan syahwat yang terlarang.
Puasa tidak hanya melindungi di dunia, tetapi juga menjadi perisai dari api neraka di akhirat. Dalam hadits sahih, Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim" (HR. Bukhari dan Muslim).
Melalui puasa, seseorang dilatih untuk menahan keinginan, termasuk hasrat seksual. Ini membangun kekuatan mental dan spiritual untuk melawan godaan zina dalam kehidupan sehari-hari.
Menikah sebagai solusi syar'i
Pernikahan adalah solusi terbaik yang disyariatkan Islam bagi mereka yang mampu. Rasulullah SAW bersabda: "Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan" (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun demikian, perlu diingat bahwa menikah bukanlah solusi utama untuk menghindari zina. Pernikahan memiliki tanggung jawab besar sehingga harus ada banyak persiapan penting. Jika menikah hanya dilakukan untuk menghindari zina tanpa memahami tanggung jawabnya, hubungan tersebut berisiko menghadapi masalah di kemudian hari.
Bagi yang belum mampu menikah, Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpuasa: "Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsu" (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan persiapan yang matang, baik secara agama, kepribadian, maupun finansial, pernikahan akan menjadi benteng kuat dalam menjaga diri dari zina.
Dampak jangka panjang dari pacaran dan selingkuh
Perbuatan pacaran dan selingkuh menyisakan jejak merusak yang berlangsung lama dalam kehidupan pelakunya, korban, dan bahkan orang-orang di sekitarnya. Dampak ini tidak hanya bersifat sementara namun terus membekas bahkan setelah bertahun-tahun.
Kerusakan rumah tangga
Zina muhsan langsung mengancam keharmonisan rumah tangga. Seorang suami atau istri yang berani melakukan perbuatan keji ini menghadapi konsekuensi runtuhnya keutuhan rumah tangga. Tidak sedikit pasangan suami istri yang bercerai akibat adanya perselingkuhan. Konflik dan pertengkaran mewarnai kehidupan rumah tangga, memicu keretakan dan perceraian yang menghancurkan struktur keluarga.
Selanjutnya, permasalahan orang tua akibat zina muhsan berdampak negatif pada anak-anak yang menjadi korban tidak bersalah. Mereka dapat mengalami stres, depresi, hingga krisis identitas karena kehilangan rasa aman dalam lingkungan keluarga.
Kehancuran moral dan kepercayaan
Fondasi utama pernikahan yaitu rasa percaya runtuh seketika akibat perselingkuhan. Cinta tercoreng, digantikan oleh rasa cemburu, dendam, dan trauma mendalam. Muncul rasa ragu, terluka, dan kehilangan rasa aman dalam pernikahan yang sulit diperbaiki.
Kerusakan tidak hanya terjadi pada keluarga, tetapi juga merusak tatanan moral masyarakat secara luas. Perilaku tidak senonoh ini merusak nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan antar-individu. Wibawa pelaku dicabut dari hati keluarga dan teman-temannya, sehingga orang memandangnya sebagai pengkhianat.
Penyesalan dan dosa yang terus membekas
Luka akibat zina dan selingkuh tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga emosional. Trauma dan rasa sakit hati dapat membebani mental dan psikis korban selama bertahun-tahun. Meskipun Allah SWT pada dasarnya akan mengampuni dosa orang yang telah berbuat zina selama bertaubat sungguh-sungguh, ada satu golongan yang dosanya tidak diampuni—yaitu mereka yang dengan bangganya mengumumkan perbuatan zinanya tanpa rasa penyesalan.
Rasa bersalah, malu, dan penyesalan seringkali menghantui pelaku, menyebabkan depresi, kecemasan, dan bahkan gangguan mental yang lebih serius. Penyembuhan dari luka akibat zina membutuhkan waktu dan usaha yang besar, membuat kepercayaan sulit dibangun kembali.
FAQS
Beberapa pertanyaan sering diajukan tentang hubungan antarpribadi dalam konteks agama Islam. Berikut jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang umum ditanyakan:
Apakah boleh berpegangan tangan dengan pacar?
Tidak boleh, karena berpegangan tangan termasuk dalam kategori sentuhan fisik antara pria dan wanita yang bukan mahram, yang dilarang dalam Islam.
Apakah boleh berciuman dengan pacar?
Tidak boleh, karena berciuman termasuk dalam kategori perbuatan yang mendekati zina, yang dilarang dalam Islam.
Apakah boleh berpacaran jika tujuannya untuk menikah?
Meskipun tujuannya untuk menikah, pacaran dalam bentuk yang umum tetap dilarang karena melanggar batasan-batasan agama. Sebaiknya lakukan ta'aruf dan khitbah sebagai alternatif yang lebih sesuai syariat.
Apakah boleh berkomunikasi dengan mantan pacar?
Sebaiknya hindari berkomunikasi dengan mantan pacar, kecuali ada keperluan yang mendesak. Komunikasi yang berlebihan dapat menimbulkan fitnah dan membuka kembali luka lama.
Bagaimana jika sudah terlanjur berpacaran?
Segera putuskan hubungan pacaran tersebut dan bertaubat kepada Allah SWT. Mulailah memperbaiki diri dan mencari cara untuk menjalin hubungan yang sesuai dengan syariat Islam.
Apakah selingkuh termasuk zina?
Ya, hukum perselingkuhan dalam Islam jelas diharamkan sebab termasuk perbuatan zina. Rasulullah SAW melarang keras seseorang mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain.
Bagaimana hukuman bagi pelaku selingkuh?
Pelaku perselingkuhan dalam pandangan Islam akan dihukum dengan hukuman rajam dan dilempari batu sebagai penebus dosa-dosanya jika sudah menikah (muhsan). Ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah RA mengenai kasus Maiz bin Malik al-Aslam.
Bagaimana cara terbaik menghindari zina?
Ustad Adi Hidayat menjelaskan bahwa sesungguhnya hanya diri sendiri yang bisa mengontrol diri sendiri agar menghindari zina baik mata, telinga, maupun perbuatan. Beberapa cara praktis adalah memperkuat iman dan ketakwaan, memahami makna pernikahan sebagai ikatan suci, menjaga komunikasi dan komitmen, serta menghindari godaan.
Bagaimana jika telah terlanjur berzina?
Allah sangat menyukai orang-orang yang taubat dan berusaha. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: "Katakanlah, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang'." (QS. Az-Zumar: 53)
