
Ulama memainkan peran krusial dalam sejarah Islam di Indonesia. Mereka bukan hanya pemuka agama, tapi juga pemimpin intelektual yang membentuk pemikiran dan praktik keislaman di Nusantara. Dari pesantren tradisional hingga perguruan tinggi modern, ulama telah menjadi pilar utama dalam menyebarkan ajaran Islam dan membimbing umat Muslim Indonesia selama berabad-abad.
Tahukah Anda bahwa ulama Indonesia memiliki pengaruh yang luar biasa hingga ke jantung dunia Islam? Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, salah satu tokoh ulama Indonesia, bahkan menjadi non-Arab pertama yang diangkat sebagai imam besar Masjidil Haram di Mekkah.
Selain itu, tokoh agama Islam di Indonesia telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan pendidikan dan pemikiran Islam. Syekh Nawawi al-Bantani, yang hidup pada tahun 1813 hingga 1897, menulis ratusan buku yang menjadi rujukan penting bagi cendekiawan di Semenanjung Arab dan Asia Tenggara. Sementara itu, karya Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, Al-Fawaid al-Janiyyah, ternyata dimasukkan dalam kurikulum Fakultas Syariah di Universitas Al-Azhar, Kairo.
Para tokoh Islam di Indonesia juga berperan penting dalam pergerakan kemerdekaan. KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, mengeluarkan fatwa jihad pada tahun 1945 yang mewajibkan umat Islam Indonesia berjuang melawan penjajahan. Demikian pula, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperbaiki pendidikan agama bagi penduduk pribumi. Artikel ini akan mengulas biografi ulama Indonesia yang telah menjadi pejuang pendidikan Islam Nusantara dengan warisan pemikiran yang masih relevan hingga saat ini.
Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh Nawawi al-Bantani merupakan salah satu ulama terkemuka dari Indonesia yang namanya tersohor hingga ke Timur Tengah. Sosoknya yang bergelar Al-Imaam Al-'Allaamah lahir di Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M (1230 H) dan wafat di Mekkah pada tahun 1897 M (1314 H) dalam usia 84 tahun.
Biografi Syekh Nawawi al-Bantani
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdul Mu'ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali al-Tantara al-Jawi al-Bantani. Dilihat dari silsilahnya, beliau merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) melalui Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama Banten. Ayahnya, K.H. Umar bin Arabi adalah seorang ulama dan penghulu di desa Tanara, sementara ibunya bernama Nyai Zubaidah.
Pendidikan dan Guru Syekh Nawawi al-Bantani
Sejak usia lima tahun, Syekh Nawawi telah belajar ilmu agama dari ayahnya. Kemudian berguru kepada K.H. Sahal dan Raden Haji Yusuf selama enam tahun. Pada usia 15 tahun, beliau menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah selama tiga tahun untuk belajar. Di Timur Tengah (1830-1860), beliau belajar dari guru-guru ternama seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas, Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, dan lainnya.
Karya Penting Syekh Nawawi al-Bantani
Sebagai penulis produktif, Syekh Nawawi menghasilkan sekitar 115 kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Karyanya yang terkenal meliputi:
Marah Labid/Tafsir al-Munir (tafsir)
Nihayah al-Zain (fiqih)
Kasyifat al-Syaja (fiqih)
Tanqih al-Qaul al-Hatsis (hadits)
Tijan ad-Darary (akidah)
Kontribusi Syekh Nawawi terhadap Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Syekh Nawawi bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma', Qiyas, dan pendapat para ahli salaf as-Shalih. Beliau menerapkan pendekatan moderat (wasathy), inovatif (makhariji), dan tetap ketat mempertahankan metodologi (manhajiy). Kitab-kitabnya hingga kini menjadi muqarrar (kurikulum wajib) di pesantren-pesantren di Indonesia.
Pengaruh Internasional Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh Nawawi diangkat sebagai Imam Masjidil Haram, menggantikan Syekh Ahmad Khatib Al-Syambasi. Beliau mendapat gelar kehormatan "Sayyid Ulama al-Hijaz" (tokoh ulama Hijaz) dan "Imam Ulama Al-Haramain". Namanya dikenal tidak hanya di Arab Saudi, tetapi juga di Suriah, Mesir, Turki, dan Hindustan.
Warisan Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani
Murid-murid Syekh Nawawi menjadi tokoh penting dalam perkembangan Islam di Indonesia, termasuk K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri NU), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, dan K.H. Asnawi Caringin. Melalui pendidikan, beliau menanamkan semangat kebangkitan dan nasionalisme sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, hingga pemerintah Belanda mengutus Snouck Hurgronje untuk memantau aktivitasnya di Mekkah pada tahun 1884-1885.
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Sebagai ulama besar asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib menduduki posisi istimewa dalam sejarah Islam Nusantara. Beliau tercatat sebagai orang non-Arab pertama yang diangkat menjadi Imam dan Khatib di Masjidil Haram, sebuah prestasi luar biasa yang menunjukkan ketinggian ilmunya.
Biografi Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Syekh Ahmad Khatib lahir di Koto Tuo, Sumatera Barat pada 6 Dzulhijjah 1276 H (26 Juni 1860 M). Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Minangkabawi al-Jawi al-Makki asy-Syafi'i al-Asy'ari. Ayahnya, Abdul Latif, merupakan ulama terkenal, sementara ibunya, Limbak Urai, adalah anak dari Tuanku Nan Renceh, tokoh Padri terkemuka. Beliau wafat pada 9 Oktober 1915 (9 Jumadil Awal 1334 H) di Makkah.
Pendidikan dan Guru Syekh Ahmad Khatib
Pendidikan awalnya diperoleh dari ayahnya sendiri. Selanjutnya, Ahmad Khatib menempuh pendidikan dasar dan melanjutkan ke Sekolah Guru (Kweekschool) yang ditamatkannya pada 1871. Pada tahun yang sama, di usia 11 tahun, ia pergi ke Makkah bersama ayahnya untuk menunaikan ibadah haji. Namun, Ahmad Khatib tidak kembali ke tanah air dan menetap di Makkah untuk belajar dari ulama-ulama besar seperti Syekh Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Yahya Al-Qalyubi, dan Muhammad Shalih al-Kurdi. Selain ilmu agama, ia juga mempelajari matematika, fisika, dan bahasa Inggris.
Karya Penting Syekh Ahmad Khatib
Ahmad Khatib merupakan penulis produktif dengan 49 karya dalam bahasa Arab dan Melayu. Karyanya mencakup berbagai bidang seperti fiqih, tauhid, ilmu falak, dan matematika. Beberapa tulisan pentingnya antara lain Al-Jawahirun Naqiyyah fil A'malil Jaibiyyah, Ar Riyadh Al Wardiyyah fi Ushulit Tauhid wa Al Fiqh Asy Syafi'i, dan Al Manhajul Masyru' fil Mawarits.
Kontribusi Syekh Ahmad Khatib terhadap Pendidikan Islam
Keahlian utama Syekh Ahmad Khatib terletak pada Ilmu Fiqih, Ilmu Falak, Ilmu Hisab, dan Ilmu Aljabar. Beliau dikenal sebagai pembaharu yang berusaha mendamaikan sistem matrilineal Minangkabau dengan hukum waris dalam Islam. Meskipun demikian, ia tetap kritis terhadap praktik adat yang dianggap menyimpang dari syariat, khususnya dalam masalah harta pusaka.
Pengaruh Internasional Syekh Ahmad Khatib
Sebagai Imam Besar Masjidil Haram dan Mufti Mazhab Syafi'i, pengaruhnya melampaui batas negara. Ia memperoleh gelar dan tanda jasa Bey Tunis dari Turki Ottoman, setara dengan Doctor Honoris Causa saat ini. Kesadaran anti-penjajahan yang ditanamkannya kepada murid-muridnya menjadi semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Warisan Pemikiran Syekh Ahmad Khatib
Warisan terbesar Syekh Ahmad Khatib adalah murid-muridnya yang kemudian menjadi tokoh besar Islam Indonesia, seperti:
KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah)
KH. Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama)
Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka)
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (pendiri PERTI)
Metode pendidikannya menekankan kemerdekaan berpikir dalam koridor akidah Islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Inilah yang kemudian melahirkan generasi ulama Indonesia yang mampu mengembangkan pemikiran mandiri namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar Islam.
Syekh Muhammad Yasin al-Fadani
Dikenal sebagai "Musnid Dunia" (Pakar Sanad Sedunia), Syekh Muhammad Yasin al-Fadani merupakan ulama Indonesia asal Padang yang menjadi kebanggaan dunia Islam pada abad ke-20. Karyanya yang monumental bahkan menjadi kurikulum wajib di Universitas Al-Azhar, Kairo.
Biografi Syekh Yasin al-Fadani
Abu Faydl 'Alam Al-Din Muhammad Yasin bin Muhammad 'Isa Al-Fadani lahir di Mekkah pada 27 Sya'ban 1337 H/1917 M. Meskipun lahir dan dibesarkan di Tanah Suci, darah Minangkabau mengalir kuat dalam dirinya. Ayahnya, Syekh Muhammad 'Isa Al-Fadani, adalah ulama asal Padang yang hijrah ke Mekkah pada akhir abad ke-19. Beliau wafat pada 20 Juli 1990 (28 Dzulhijjah 1410 H) dalam usia 75 tahun.
Pendidikan dan Karier Syekh Yasin
Pendidikan awalnya diperoleh dari ayahnya, mempelajari Al-Quran, tauhid, dan dasar bahasa Arab. Berkat bimbingan ibunya yang hafiz Quran, beliau mampu menghafal Al-Quran di usia 8 tahun. Pada 1346 H/1927 M, ia belajar di Madrasah Shaulathiyyah selama 6 tahun. Namun kemudian pindah ke Madrasah Darul Ulum karena konflik yang menyangkut nasionalisme.
Setelah lulus, Syekh Yasin diminta mengajar dan menjadi mudir (direktur) di Darul Ulum pada tahun 1359 H/1940 M. Beliau juga aktif mengajar di Masjidil Haram dan membuka pengajian di rumahnya. Setiap Ramadhan, selama 15 tahun berturut-turut, beliau mengkhatamkan Kutub al-Sittah (enam kitab hadis utama).
Karya Penting Syekh Yasin al-Fadani
Syekh Yasin menulis sekitar 102 kitab, mencakup:
9 kitab tentang ilmu hadis
25 kitab tentang ilmu dan ushul fikih
36 kitab tentang ilmu falak
Sisanya tentang berbagai disiplin ilmu lainnya
Karyanya yang paling terkenal, Al-Fawaid Al-Janiyyah, dijadikan silabus dalam mata kuliah Ushul Fiqih di Fakultas Syariah Al-Azhar Kairo.
Kontribusi Syekh Yasin terhadap Pendidikan Islam
Meski berbasis di Mekkah, kontribusi Syekh Yasin terhadap pendidikan Islam sangat besar. Pada tahun 1362 H/1943 M, beliau menjadi pelopor pendidikan perempuan dengan mendirikan Madrasah al-Banat al-Ibtidaiyyah, sekolah putri pertama di Arab Saudi. Beliau juga mendirikan Institut Pendidikan Guru Putri (Ma'had Mu'allimat) pada tahun 1377 H/1957 M.
Pengaruh Internasional Syekh Yasin
Syekh Yasin mendapat gelar "Musnid Dunia" karena memiliki sanad ilmu terbanyak di dunia pada masanya. Ulama besar Al-Allamah Habib Segaf bin Muhammad Assegaf menjulukinya "Sayuthiyu Zamanihi" (Imam Al-Sayuthi pada zamannya). Beliau memiliki sekitar 500 sanad keilmuan terkemuka dengan jumlah guru mencapai 700 orang.
Warisan Pemikiran Syekh Yasin
Sebelum wafat, Syekh Yasin mengijazahkan kitabnya Al-'Iqd Al-Farid Min Jawahir Al-Asanid kepada banyak kiai pengasuh pesantren di Indonesia seperti KH. Said Agil Husin Al Munawar, KH. Mahrus Ali, KH. Maimun Zubair, dan KH. Abdullah Faqih. Warisan terbesar beliau adalah tradisi sanad keilmuan yang terjaga, menghubungkan ulama Nusantara dengan jaringan keilmuan global.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Ulama besar dari Kesultanan Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, menorehkan jejak penting dalam sejarah Islam Kalimantan melalui pemikiran dan karya-karyanya yang monumental. Julukan "Datu Kalampayan" melekat pada sosok yang karya-karyanya masih menjadi rujukan hingga ke Asia Tenggara.
Biografi Syekh Arsyad al-Banjari
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada 17 Maret 1710 M (1122 H). Nama aslinya adalah Sayyid Ja'far Al-Aydarus. Beliau wafat pada 13 Oktober 1812 dalam usia 102 tahun dan dimakamkan di Kalampayan, Astambul, sekitar 56 kilometer dari Banjarmasin.
Pendidikan dan Guru Syekh Arsyad
Pada usia 30 tahun, Sultan Banjar mengabulkan keinginannya belajar ke Mekkah dengan segala perbelanjaan ditanggung kerajaan. Selama 30 tahun di Haramain, beliau berguru kepada ulama terkemuka seperti Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mishri, Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, dan Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman. Selama di Mekkah, beliau bersahabat dengan tiga ulama Nusantara lainnya yang dikenal sebagai "Empat Serangkai": Abdul Rahman al-Batawi, Abdul Shomad al-Palimbani, dan Abdul Wahab al-Makassari.
Karya Penting Syekh Arsyad
Karya magnum opus beliau adalah kitab Sabilal Muhtadin yang ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah II. Kitab ini menjadi rujukan bagi pemeluk Islam bermazhab Syafi'i di Asia Tenggara bahkan menjadi referensi di Universitas Al-Azhar Mesir. Selain itu, beliau menulis berbagai kitab seperti Ushuluddin (tauhid), Tuhfatur Raghibin, Kanzul Ma'rifah (tasawuf), Kitabul Faraid (waris), dan Al-Qawlul Mukhtasar.
Kontribusi Syekh Arsyad terhadap Pendidikan Islam
Sekembalinya ke Banjar tahun 1772, beliau mendirikan pusat pendidikan bernama Dalam Pagar yang berkembang menjadi kampung ramai tempat menuntut ilmu agama. Beliau juga mempelopori pendidikan berbasis pertanian untuk menopang kehidupan santri. Syekh Arsyad menjadi perintis pengajaran hukum Islam di Kalimantan Selatan dan mendidik banyak ulama yang kemudian menduduki tempat penting di Kesultanan Banjar.
Pengaruh Regional Syekh Arsyad
Pengaruh Syekh Arsyad sangat signifikan dalam perkembangan Islam di Kalimantan hingga Asia Tenggara. Atas usulannya, Sultan Banjar membentuk lembaga Mufti dan Qadi serta memberlakukan hukum Islam. Beliau juga berperan dalam pendirian Mahkamah Syariah, dengan cucu beliau Syekh Muhammad As'ad menjadi Mufti pertama. Kitab-kitabnya dicetak di Makkah, Mesir, Lebanon, dan Turki.
Warisan Pemikiran Syekh Arsyad
Warisan pemikiran paling menonjol dari Syekh Arsyad adalah konsep harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan yang belum pernah dibahas dalam fiqih Timur Tengah. Beliau juga memprioritaskan penyaluran zakat untuk modal usaha dan pengadaan alat produksi bagi fakir miskin yang memiliki keterampilan. Melalui keturunannya, ajaran beliau tersebar ke berbagai wilayah Indonesia bahkan Malaysia.
Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Terkenal dengan julukan "Inyiak Canduang", Syekh Sulaiman ar-Rasuli merupakan tokoh ulama penting asal Minangkabau yang memberikan kontribusi besar dalam integrasi adat dan agama di Sumatra Barat.
Biografi Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Syekh Sulaiman ar-Rasuli lahir pada 10 Desember 1871 di Nagari Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Beliau berasal dari keluarga dengan tradisi keagamaan yang kuat. Ayahnya, Muhammad Rasul Tuanku Mudo, merupakan ulama yang dihormati, sedangkan ibunya, Siti Buliah, dikenal sebagai wanita yang taat beragama. Beliau wafat pada 1 Agustus 1970 dalam usia 99 tahun.
Pendidikan dan Guru Syekh Sulaiman
Pada tahun 1881, Sulaiman mulai mempelajari Al-Qur'an di Batuhampar dibawah bimbingan Syekh Abdurrahman dan Syekh Muhammad Arsyad. Selanjutnya, beliau berguru pada Syekh Abdussamad Tuanku Samiak di Biaro untuk mempelajari bahasa Arab. Ketika menuntut ilmu di Makkah selama empat tahun (1903-1907), diantara gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Mukhtar Atarid al-Bughuri, dan Syekh Umar Bajunaid al-Hadrami.
Karya Penting Syekh Sulaiman
Beberapa karya penting Syekh Sulaiman antara lain: Aqwalul wa Shithah fi az-Zikiri wa ar-Rabithah (Tasawuf), Jawahir al-Kalamiyah (Tauhid), Al-Qaul al-Bayan Fi at-Tafsir al-Qur'an (Tafsir), dan Perdamaian Adat dan Syara' (Adat).
Kontribusi Syekh Sulaiman terhadap Pendidikan Islam
Pada tahun 1917, beliau mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di Canduang, yang kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam terkemuka. Beliau memperkenalkan metode pengajaran inovatif dengan mengganti sistem halaqah menjadi sistem kelas, meskipun tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab bermazhab Syafi'i.
Pengaruh di Asia Tenggara
Pada tahun 1928, Syekh Sulaiman bersama beberapa ulama lainnya mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Beliau juga terlibat dalam berbagai organisasi sosial keagamaan seperti Sarekat Islam dan Majelis Islam Tinggi Minangkabau (1943). Setelah kemerdekaan, beliau menjadi anggota Konstituante dari Partai Perti dan terpilih sebagai ketua sidang pada tahun 1956.
Warisan Pemikiran Syekh Sulaiman
Warisan terbesar beliau adalah kontribusinya dalam mengintegrasikan adat Minangkabau dengan syariat Islam melalui ungkapan "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (Adat berlandaskan syariat, syariat berlandaskan Al-Qur'an). Pemikiran ini menjadi dasar filosofis masyarakat Minangkabau hingga saat ini.
KH Ahmad Dahlan
Sebagai tokoh pembaharu Islam di Nusantara, KH Ahmad Dahlan memperkenalkan pendekatan pendidikan Islam yang mengintegrasikan ilmu umum dan agama, sesuatu yang revolusioner pada awal abad ke-20.
Biografi KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan lahir dengan nama Muhammad Darwis pada 1 Agustus 1868 di Kauman, Yogyakarta. Beliau merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dalam keluarga KH Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta. Ibunya adalah Siti Aminah, putri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu Kesultanan Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 1923 dalam usia 54 tahun dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta.
Pendidikan dan Perjalanan ke Mekkah
Pada usia 15 tahun, Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun. Selama periode ini, beliau berinteraksi dengan para pemikir pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani, dan Ibnu Taimiyah. Setelah kembali ke tanah air tahun 1888, ia mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Pada 1903, beliau kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun, berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Pendirian Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 di Kauman, Yogyakarta. Pendirian organisasi ini berawal dari Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan awal tahun 1912. Menariknya, madrasah ini awalnya hanya beroperasi di kamar tamu rumahnya yang berukuran 6 x 2,5 meter dengan sembilan santri sebagai murid pertama. Muhammadiyah secara resmi mendapat pengakuan sebagai badan hukum dari Pemerintah Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914.
Kontribusi KH Ahmad Dahlan terhadap Pendidikan Islam
KH Ahmad Dahlan mempelopori sistem pendidikan Islam modern dengan menggabungkan:
Ilmu agama Islam dari sistem pesantren
Pengetahuan umum dari sistem sekolah Belanda
Beliau memperkenalkan sistem kelas dengan meja, kursi, dan papan tulis, metode yang sangat inovatif pada masanya. Inisiatif ini menjadi model pendidikan yang kemudian diadopsi sebagai sistem pendidikan nasional.
Pengaruh Sosial KH Ahmad Dahlan
Selain aktif dalam gerakan dakwah, KH Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai wirausahawan batik yang berhasil. Beliau terlibat dalam berbagai organisasi seperti Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Komite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad. Melalui Muhammadiyah dan Aisyiyah, beliau mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mendapatkan pendidikan setara dengan kaum pria.
Warisan Pemikiran KH Ahmad Dahlan
Warisan utama KH Ahmad Dahlan adalah paradigma Islam berkemajuan yang memadukan ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Pemerintah Indonesia menganugerahkannya gelar Pahlawan Nasional pada 1961 atas jasanya dalam membangkitkan kesadaran bangsa melalui pembaharuan Islam dan pendidikan.
KH Hasyim Asy’ari
Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari tidak hanya menjadi pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, tetapi juga dikenal sebagai pejuang nasional yang menginspirasi perlawanan rakyat terhadap kolonialisme melalui fatwa-fatwanya yang bersejarah.
Biografi KH Hasyim Asy'ari
Muhammad Hasyim Asy'ari lahir pada 14 Februari 1871 (24 Dzulqa'dah 1287 H) di Desa Gedang, Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra dari pasangan Kyai Asy'ari dan Nyai Halimah. Dari garis ayah, silsilahnya sampai pada Sultan Pajang, Jaka Tingkir. Sedangkan dari garis ibu, beliau merupakan keturunan kedelapan dari Sunan Giri. KH Hasyim Asy'ari wafat pada 25 Juli 1947 akibat tekanan darah tinggi setelah menerima kabar tentang situasi politik Indonesia.
Pendidikan dan Guru KH Hasyim
Pendidikan awal KH Hasyim diperoleh dari ayah dan kakeknya sendiri. Pada usia 15 tahun, beliau mulai berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Di Makkah, beliau berguru kepada ulama terkenal seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Mahfudz at-Tarmasi, dan Syekh Nawawi al-Bantani. KH Hasyim juga mendalami ilmu hadits dari Syekh Ahmad Amin Al-Athar dan Sayyid Yamani.
Pendirian Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya sebagai respons terhadap perkembangan gerakan Wahabisme di Arab Saudi dan modernisme Islam di tanah air. Melalui NU, KH Hasyim berupaya mempertahankan tradisi pesantren dan pemahaman Islam bermazhab. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan jutaan anggota.
Kontribusi KH Hasyim terhadap Pendidikan Islam
Tahun 1899, KH Hasyim mendirikan Pesantren Tebuireng yang menjadi pusat pendidikan Islam terkemuka di Jawa. Beliau memperkenalkan sistem madrasah dengan metode pengajaran klasikal tanpa meninggalkan tradisi sorogan dan bandongan. Karya monumentalnya, Adabul 'Alim wal Muta'allim, menjadi pedoman etika hubungan guru dan murid yang masih digunakan hingga kini.
Fatwa Jihad dan Perjuangan Kemerdekaan
Pada Oktober 1945, KH Hasyim mengeluarkan "Resolusi Jihad" yang mewajibkan umat Islam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Fatwa ini membakar semangat rakyat dalam Pertempuran 10 November di Surabaya. Meskipun demikian, beliau selalu menekankan pentingnya persatuan bangsa di atas perbedaan golongan.
Warisan Pemikiran KH Hasyim
Pemikiran KH Hasyim bersifat moderat dengan prinsip "al-muhafadzah 'alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah" (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Beliau meninggalkan banyak karya seperti Al-Tibyan, Risalah Ahlussunnah Wal Jama'ah, dan Al-Nur Al-Mubin. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahkannya gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964.
Ahmad Surkati
Berbeda dengan ulama pribumi, Ahmad Surkati merupakan cendekiawan asal Sudan yang membawa angin segar reformasi Islam di Indonesia pada awal abad ke-20. Kehadirannya mengubah lanskap pendidikan Islam dengan pendekatan yang rasional dan progresif.
Biografi Ahmad Surkati
Ahmad bin Muhammad Surkati al-Anshori lahir di Udfu, Dongola, Sudan pada tahun 1874 M. Nama "Surkati" berasal dari bahasa Dongolawi yang berarti "banyak buku" karena kecintaannya pada ilmu. Beliau meninggal pada 6 September 1943 di kediamannya di Jakarta, tepat 29 tahun setelah mendirikan Al-Irsyad.
Pendidikan dan Perjalanan ke Indonesia
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Sudan, Surkati menunaikan haji ke Mekkah pada 1896. Selanjutnya, ia menetap di Madinah selama empat tahun untuk memperdalam ilmu agama dan bahasa Arab. Kemudian pindah ke Mekkah dan tinggal selama 11 tahun. Pada Oktober 1911, atas undangan Jam'iyatul Khair, Surkati tiba di Batavia bersama dua rekannya: Muhammad bin Abdul Hamid (Sudan) dan Muhammad al-Tayyib (Maroko).
Pendirian Al-Irsyad
Setelah berselisih paham dengan para pemimpin Jam'iyatul Khair mengenai konsep kafaah (persamaan derajat), Surkati mengundurkan diri pada 6 September 1914. Pada hari yang sama, ia mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah dan organisasi Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah. Organisasi ini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Kontribusi Ahmad Surkati terhadap Pendidikan Islam
Ahmad Surkati mempelopori sistem pendidikan berjenjang yang sebelumnya belum pernah ada di Indonesia:
Sekolah dasar tiga tahun (Awwaliyah)
Sekolah dasar empat tahun (Ibtida'iyah)
Sekolah menengah dua tahun (Tajhiziyah)
Sekolah guru empat tahun (Mu'allimin)
Pengaruh terhadap Gerakan Reformis
Bersama KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan Ahmad Hassan (Persis), Surkati dikenal sebagai "Trio Pembaharu Islam Indonesia". Menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper, di antara gerakan pembaharuan Islam di Indonesia saat itu, Al-Irsyad dianggap paling mendekati gerakan reformisme di Mesir.
Warisan Pemikiran Ahmad Surkati
Pemikiran utama Surkati berfokus pada pemurnian tauhid, ibadah, dan amaliyah Islam. Meskipun banyak mengajar di komunitas Arab, ia selalu menekankan pentingnya pemahaman dua arah antara Muslim Indonesia dan Arab. Warisan paling berharga dari Surkati adalah pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Mohammad Natsir, dan Kasman Singodimedjo.
Ahmad Hasan
Dikenal sebagai "Singa Podium" berkat kemampuan debatnya yang tajam, Ahmad Hasan menjadi tokoh sentral Persatuan Islam (Persis) yang reformis dalam pemikiran keagamaan di Indonesia awal abad ke-20.
Biografi Ahmad Hasan
Ahmad Hasan lahir di Singapura pada tahun 1887. Nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad, namun mengikuti kelaziman budaya Melayu, namanya berubah menjadi Ahmad Hasan. Ayahnya, Ahmad Sinna Vappu Maricar yang bergelar "Pandit", berasal dari India dan menjadi pemimpin surat kabar "Nurul Islam" di Singapura. Ibunya, Muznah, berasal dari Palekat, Madras tetapi lahir di Surabaya. Ahmad Hasan menikah dengan Maryam pada tahun 1911 dan dikaruniai tujuh orang anak. Beliau wafat pada 10 November 1958 di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya.
Pendidikan dan Aktivitas di Persis
Pendidikan awal Ahmad Hasan diperoleh dari ayahnya. Pada usia tujuh tahun, ia mulai mempelajari Al-Qur'an dan dasar-dasar agama Islam. Selama empat tahun ia belajar di Sekolah Melayu, mempelajari bahasa Arab, Melayu, Tamil, dan Inggris. Pada tahun 1921, Ahmad Hasan pindah ke Surabaya untuk mengelola toko tekstil pamannya, Abdul Latif. Di sana ia bertemu dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.
Pada tahun 1923, Ahmad Hasan pindah ke Bandung dan bergabung dengan Persatuan Islam (Persis). Melalui organisasi ini, Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama dan ahli debat yang tangguh. Pada 1941, ia memindahkan aktivitasnya ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan Pesantren Persis.
Karya Penting Ahmad Hasan
Ahmad Hasan merupakan penulis produktif dengan lebih dari 80 judul buku, meliputi:
Al-Furqan Tafsir Qur'an - karya monumentalnya yang menjadi tafsir Al-Qur'an pertama dalam bahasa Indonesia
Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama
Pengajaran Shalat
Al-Burhan
Al-Jawahir
Kontribusi Ahmad Hasan terhadap Pendidikan Islam
Ahmad Hasan mendirikan dua pesantren penting: Pesantren Persis di Bandung dan Pesantren Persis di Bangil. Tujuan pendidikannya adalah membentuk akhlak terpuji sesuai Al-Qur'an dan Hadits. Hal ini selaras dengan pandangannya bahwa Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Ahmad Hasan menekankan kemerdekaan berpikir namun tetap berpegang pada Al-Qur'an dan Hadits.
Pengaruh Pemikiran Ahmad Hasan
Dalam dunia politik, Ahmad Hasan mempelopori kelompok politik di Indonesia yang berlandaskan Islam. Pemikirannya memengaruhi banyak tokoh besar, termasuk Mohammad Natsir, K.H. Isa Anshory, dan Presiden Soekarno. Meski sebelumnya terjadi perdebatan panjang antara Ahmad Hasan dan Soekarno tentang nasionalisme dan Islam, mereka tetap menjalin hubungan dekat. Soekarno bahkan sering meminta buku-buku Ahmad Hasan saat menjalani pembuangan di Ende, Flores.
Warisan Pemikiran Ahmad Hasan
Sebagai ulama literalis, Ahmad Hasan selalu berpegang pada Al-Qur'an dan Hadits dalam setiap permasalahan. Warisan terpentingnya adalah semangat untuk kembali kepada sumber asli Islam tanpa taklid. Meskipun terkenal dengan perdebatan-perdebatannya yang tajam, Ahmad Hasan dikenal memiliki sikap lapang dada terhadap perbedaan pendapat. Pengaruhnya masih terasa dalam gerakan pemurnian Islam di Indonesia hingga saat ini.
KH Wahid Hasyim
Putra pendiri NU sekaligus ayah Presiden keempat RI, KH Abdul Wahid Hasyim menjadi sosok penting dalam perumusan dasar negara Indonesia. Meski hidupnya singkat, kontribusinya terhadap bangsa sangat besar.
Biografi KH Wahid Hasyim
Abdul Wahid Hasyim lahir pada 1 Juni 1914 di Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Berkat kecerdasannya, Wahid Hasyim telah khatam Al-Qur'an pada usia 7 tahun dan mahir bahasa Belanda serta Inggris di usia 15 tahun tanpa mengenyam pendidikan kolonial. Pada usia 25 tahun, ia menikah dengan Solichah, putri KH Bisri Syansuri, dan dikaruniai 6 anak. Wahid Hasyim wafat pada 19 April 1953 di Cimahi dalam usia 39 tahun akibat kecelakaan mobil.
Peran dalam BPUPKI
Menjelang kemerdekaan tahun 1945, di usianya yang masih 31 tahun, Wahid Hasyim menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Sebagai anggota termuda, beliau mewakili NU bersama KH Masykur dari Malang dan KH Abdul Fatah Yasin dari Bojonegoro. Keberadaannya di lembaga ini menunjukkan kepercayaan besar terhadap kapasitas intelektualnya meski usianya masih muda.
Kontribusi terhadap Pendidikan Islam
Pada awal abad ke-20, Wahid Hasyim memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial dan selain bahasa Arab, murid juga diajari bahasa Inggris dan Belanda. Pada tahun 1944, beliau mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Kemudian sebagai Menteri Agama, ia mendekritkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini berkembang menjadi Sekolah Tinggi, Institut maupun Universitas.
Peran dalam Perumusan Dasar Negara
Wahid Hasyim terlibat sebagai anggota Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. Saat terjadi keberatan dari penduduk Indonesia bagian Timur tentang sila pertama Pancasila, beliau mengusulkan perubahan dari "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sikap moderat dan inklusif ini menyelamatkan persatuan bangsa Indonesia.
Warisan Pemikiran KH Wahid Hasyim
Warisan terbesar Wahid Hasyim adalah pemikirannya yang moderat, substantif dan inklusif. Beliau menegaskan bahwa "Ketuhanan Yang Esa" merupakan konsep tauhid dalam Islam sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolaknya. Sebagai ketua PBNU dan Menteri Agama selama tiga periode kabinet, kontribusinya dalam pendidikan dan pemikiran Islam telah menjadi bagian sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tak tergantikan.
Syekh Kholil Bangkalan
Dikenal sebagai guru dari para ulama besar, Syekh Kholil Bangkalan menjadi figur spiritual yang berpengaruh dalam sejarah Islam Nusantara melalui murid-muridnya yang kemudian mendirikan organisasi-organisasi Islam terkemuka di Indonesia.
Biografi Syekh Kholil Bangkalan
Muhammad Kholil lahir pada 11 Jumadil Akhir 1235 H (27 Januari 1820 M) di Bangkalan, Madura. Beliau berasal dari keluarga ulama dengan silsilah yang terhubung dengan Sunan Gunung Jati. Ayahnya, KH Abdul Lathif, merupakan ulama terkemuka, sementara kakeknya adalah Kiai Hamim bin Abdul Karim. Syekh Kholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M). Sebagai penghormatan, beliau diberi gelar "Syaikhona" yang berarti guru para ulama.
Pendidikan dan Guru Syekh Kholil
Perjalanan intelektual Syekh Kholil dimulai dengan belajar kepada ayahnya. Selanjutnya, beliau berkelana ke berbagai pesantren di Jawa, termasuk Pesantren Langitan (Tuban), Cangaan (Bangil), dan Keboncandi (Pasuruan). Selama di Keboncandi, beliau juga menimba ilmu dari Kiai Nur Hasan di Pesantren Sidogiri. Pada tahun 1859, di usia 39 tahun, Syekh Kholil pergi ke Mekkah dan berguru kepada ulama-ulama besar seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, dan Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan.
Peran Spiritual dalam Pendirian NU
Meskipun tidak tercatat sebagai pendiri NU secara struktural, peran Syekh Kholil sangat penting dalam berdirinya organisasi tersebut. Beliau memberikan restu dan isyarat kepada KH Hasyim Asy'ari melalui KH As'ad Syamsul Arifin dengan mengirimkan tongkat dan kutipan ayat Al-Qur'an Surat Thaha ayat 17-23. Pada tahun 1920, para ulama berkumpul di Bangkalan untuk meminta arahan dari Syekh Kholil terkait keberlangsungan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah.
Kontribusi terhadap Pendidikan Islam
Syekh Kholil mendirikan pesantren di desa Cengkubuan dan kemudian di Kademangan, Bangkalan. Dalam bidang pendidikan Islam, beliau mengembangkan metode pengajaran berbasis kitab kuning dan menekankan pentingnya sanad keilmuan. Pemikiran pendidikannya menekankan bahwa pendidikan adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan semata untuk kepentingan duniawi. Kontribusi Syekh Kholil dalam dunia pendidikan meliputi tiga bidang utama: agama, pesantren, dan negara.
KH Abdul Wahab Chasbullah
Bapak pendiri Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Chasbullah meninggalkan jejak luar biasa dalam perpaduan gerakan keagamaan dengan politik kebangsaan. Sosoknya menjadi contoh ulama Indonesia yang mampu menyeimbangkan peran sebagai pemimpin agama dan pejuang kemerdekaan.
Biografi KH Wahab Chasbullah
KH Abdul Wahab Chasbullah lahir pada 31 Maret 1888 di Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra KH Hasbullah Said, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, dan Nyai Latifah. Perjalanan menuntut ilmunya dimulai dari berbagai pesantren terkenal seperti Langitan Tuban, Mojosari Nganjuk, dan Tebuireng Jombang. Selanjutnya, ia berguru kepada Syekh Kholil Bangkalan dan menimba ilmu di Makkah pada tahun 1913-1915. Di Tanah Suci, beliau tidak hanya memperdalam ilmu agama tetapi juga aktif mencari informasi tentang perkembangan sosial-politik tanah air melalui jamaah haji Indonesia dan korespondensi dengan keluarganya.
Peran dalam Pendirian NU
Sebelum mendirikan NU pada 31 Januari 1926, KH Wahab telah merintis beberapa organisasi penting. Pada 1914, beliau mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar di Surabaya. Kemudian pada 1916, beliau mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang resmi berbadan hukum. Pada 1918, beliau membentuk Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar) sebagai basis ekonomi pergerakan. Ketiga organisasi ini menjadi embrio terbentuknya Nahdlatul Ulama. Sebagai salah satu pendiri NU, KH Wahab menegaskan bahwa organisasi ini didirikan bukan hanya sebagai jam'iyah (perkumpulan) melainkan juga sebagai wadah perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.
Kontribusi terhadap Pendidikan dan Organisasi Islam
KH Wahab menciptakan dasar-dasar kepemimpinan dalam NU dengan memperkenalkan dua badan: Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai upaya memersatukan kalangan tua dan muda. Selain itu, beliau mempelopori kebebasan berpikir di kalangan umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. Pada masa perjuangan kemerdekaan, KH Wahab pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) dan terlibat dalam perumusan Resolusi Jihad bersama KH Hasyim Asy'ari. Atas jasanya, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada 7 November 2014.
KH Bisri Syansuri
KH Bisri Syansuri meninggalkan jejak abadi dalam pendidikan Islam Indonesia sebagai pionir pendidikan perempuan berbasis pesantren. Sosok ulama ahli fikih ini tidak hanya dikenal sebagai pendiri NU, tetapi juga berani membuat terobosan yang mengubah lanskap pendidikan pesantren di Nusantara.
Biografi KH Bisri Syansuri
KH Bisri Syansuri dilahirkan di Tayu, Pati, Jawa Tengah pada 18 September 1886 (28 Dzulhijjah 1304 H). Ia merupakan putra dari pasangan KH Syansuri dan Nyai Mariah, anak ketiga dari lima bersaudara. Semasa hidupnya, beliau dikenal dengan sapaan Mbah Bisri. Setelah memberi banyak kontribusi bagi dunia pendidikan Islam, KH Bisri wafat pada 25 April 1980 dalam usia 93 tahun dan dimakamkan di kompleks pemakaman Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar, Jombang.
Pendidikan dan Pesantren
Perjalanan keilmuan KH Bisri dimulai dengan berguru pada KH Abd Salam, seorang ahli Al-Qur'an dan fikih. Dari beliau, KH Bisri mempelajari ilmu nahwu, shorof, fikih, tasawuf, tafsir, dan hadits. Pada usia 15 tahun, ia mulai belajar kepada KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu'aib Sarang Lasem. Selanjutnya, ia berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, tempat ia bertemu dengan KH Abdul Wahab Chasbullah yang kelak menjadi sahabat karib sekaligus kakak iparnya.
Perjalanan ilmiahnya berlanjut dengan menimba ilmu selama enam tahun di Pesantren Tebuireng bersama KH Hasyim Asy'ari. Pada 1912, KH Bisri berangkat ke Mekkah bersama KH Abdul Wahab Chasbullah. Di kota suci, ia belajar kepada Syekh Muhammad Bakir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh Al-Maliki.
Sepulang dari Mekkah tahun 1914, KH Bisri mendirikan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif di Denanyar, Jombang. Awalnya, pesantren ini hanya berupa rumah sederhana dan surau kecil dengan empat santri pertama.
Kontribusi terhadap Pendidikan Perempuan
Kontribusi terbesar KH Bisri dalam dunia pendidikan Islam adalah keberaniannya membuka kelas khusus bagi santri perempuan. Pada 1919, beliau memulai langkah revolusioner ini dengan mengajar anak-anak perempuan tetangga di beranda belakang rumahnya. Inisiatif ini tergolong langka bahkan aneh di mata ulama pesantren saat itu.
Meskipun tidak mendapat persetujuan eksplisit dari gurunya, KH Hasyim Asy'ari, namun beliau juga tidak melarangnya. Hal ini mendorong KH Bisri untuk terus mengembangkan pendidikan bagi perempuan. Pada 1921, pesantrennya mulai secara resmi menerima santri putri dari berbagai daerah. Puncaknya, pada 1930 didirikan Madrasah Diniyah Putri di Pesantren Mamba'ul Ma'arif.
Ijtihad kreatif KH Bisri ini kemudian dilanjutkan oleh putrinya, Nyai Musyarofah, yang mendirikan pesantren putri di Tambak Beras pada 1951. Berkat langkah pionir ini, kini telah berdiri ribuan pesantren putri di seluruh Indonesia.
KH As’ad Syamsul Arifin
Sosok kharismatik kelahiran Makkah, KH As'ad Syamsul Arifin menjadi salah satu ulama Indonesia yang memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan dan pengembangan pendidikan Islam di tanah air. Kiprahnya sebagai pejuang dan pendidik telah memberikan sumbangsih besar bagi bangsa Indonesia.
Biografi KH As'ad
KH As'ad Syamsul Arifin dilahirkan di Makkah pada tahun 1897. Ayahnya, KH Syamsul Arifin, adalah seorang ulama asal Banyuwangi yang menetap di Tanah Suci. Sejak kecil, As'ad muda mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya serta dari ulama-ulama besar di Haramain. Pada tahun 1921, ia kembali ke Indonesia dan menetap di Situbondo, Jawa Timur. Di sana, beliau mendirikan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo yang kemudian berkembang menjadi salah satu pesantren terkemuka di Indonesia.
Peran dalam Perjuangan 10 November
Selama revolusi kemerdekaan, KH As'ad menjadi penghubung penting antara Syekh Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari. Beliau mengirimkan tongkat dan tasbih dari Syekh Kholil sebagai isyarat restu untuk pendirian Nahdlatul Ulama. Namun, kontribusi terbesarnya adalah keterlibatan dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ketika tentara Sekutu mendarat di Surabaya, KH As'ad memimpin pasukan Hizbullah dan Sabilillah dari Situbondo untuk bergabung dengan pejuang lainnya. Bersama para santri, beliau turun ke medan perang dengan semangat jihad fi sabilillah setelah Resolusi Jihad dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy'ari.
Kontribusi terhadap Pendidikan Islam
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah yang didirikan KH As'ad pada awalnya hanya memiliki beberapa santri. Seiring waktu, pesantren ini berkembang pesat dan memperkenalkan pendidikan formal di samping pengajian kitab kuning. Keunikan metode pendidikan KH As'ad terletak pada penekanan akhlak dan kemandirian santri. Beliau menekankan pentingnya menjaga tradisi salaf sambil tetap membuka diri terhadap perkembangan zaman. Hingga wafatnya pada tahun 1990, KH As'ad telah melahirkan ribuan alumni yang menjadi tokoh di berbagai bidang. Warisan pendidikannya masih terus dikembangkan oleh penerusnya di Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo.
KH Ridwan Abdullah
Pelukis handal sekaligus ulama alim, KH Ridwan Abdullah menorehkan namanya dalam sejarah Islam Indonesia melalui karya monumental yang menjadi identitas organisasi Islam terbesar di Indonesia. Kisah penciptaan lambang NU menjadi bukti perpaduan spiritualitas dan kreativitas seorang ulama yang total dalam berorganisasi.
Biografi KH Ridwan Abdullah
KH Ridwan Abdullah lahir pada 1 Januari 1884 di Kelurahan Alun-alun Contong, Bubutan, Surabaya. Beliau merupakan putra sulung dari enam bersaudara pasangan Kiai Abdullah dan Nyai Ma'rufah. Pendidikan awalnya ditempuh di sekolah rakyat milik Belanda, kemudian dilanjutkan di beberapa pesantren di Jawa dan Madura. KH Ridwan juga berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, sebagaimana umumnya para kiai pendiri NU yang lain.
Selama hidupnya, KH Ridwan dua kali bermukim di Makkah. Pertama pada 1901 selama tiga tahun, kemudian pada 1911 selama setahun. Sepulang dari Makkah, beliau aktif berdakwah dan mengajar agama Islam. KH Ridwan wafat pada 16 Februari 1962 di usia 78 tahun dan dimakamkan di pemakaman Tembok, Surabaya.
Pencipta Lambang NU
Penciptaan lambang NU berawal dari amanah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari kepada KH Ridwan yang dikenal alim dan piawai melukis. Syaratnya, lambang harus orisinil (tidak meniru lambang lain) dan memiliki wibawa sehingga tidak membosankan. Meski telah membuat ratusan sketsa, tak satupun memuaskan hingga menjelang Muktamar ke-2 tahun 1927.
Akhirnya melalui istikharah, KH Ridwan mendapat isyarat berupa lambang bola dunia dikelilingi sembilan bintang. Setelah disetujui KH Hasyim Asy'ari dan KH Nawawi Sidogiri, lambang tersebut disempurnakan dengan tambahan tali ikatan yang melambangkan persatuan umat.
Kontribusi terhadap Identitas Organisasi Islam
Selain menciptakan lambang NU, KH Ridwan juga berperan dalam mendirikan sekolah Nahdlatul Wathan di Kawatan, Bubutan pada 1916 bersama KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, dan KH Mas Alwi. Beliau turut aktif dalam perjuangan kemerdekaan dengan bergabung dalam Laskar Sabilillah.
Makna lambang NU karya KH Ridwan menjadi pedoman ideologis organisasi ini. Lima bintang di atas melambangkan Nabi Muhammad dan empat sahabatnya, empat bintang di bawah mewakili empat mazhab, tali melambangkan persatuan umat, sementara tulisan dengan huruf 'ain terbuka menandakan ilmu yang selalu terbuka bagi siapapun.
FAQS
Berbagai pertanyaan sering muncul tentang peran, kedudukan, dan kontribusi tokoh agama Islam di Indonesia. Berikut jawaban atas pertanyaan umum mengenai ulama Indonesia.
Apakah kedudukan ulama dalam masyarakat Islam? Ulama memiliki tiga peran penting dalam masyarakat Islam. Pertama, sebagai pewaris para nabi yang meneruskan ajaran-ajaran kenabian. Kedua, sebagai penyebar ilmu agama kepada masyarakat luas. Ketiga, sebagai pemimpin spiritual yang membimbing umat dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Bagaimana cara dakwah yang efektif menurut tradisi ulama Indonesia? Dakwah yang efektif menurut tradisi ulama Indonesia mengutamakan akhlak yang baik sebagai kunci keberhasilan, seperti dicontohkan oleh Walisongo. Misi inti dakwah sesuai dengan yang dilakukan Nabi Muhammad yaitu menyempurnakan akhlak mulia. Pendekatan kultural juga menjadi ciri khas, seperti penggunaan wayang dan gending dalam penyebaran Islam di Jawa.
Apa ciri khas pemikiran ulama Indonesia? Ulama Indonesia umumnya menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah dengan tokoh teologi seperti Abu Hasan Al-Asy'ari. Pendekatan moderat menjadi karakteristik utama, dengan prinsip "memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik." Metode "tahrij manath" juga kerap digunakan dalam memahami hukum Islam.
Mengapa ulama Indonesia memiliki pengaruh internasional? Beberapa ulama Indonesia ditunjuk sebagai imam dan pengajar di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Karya-karya ulama Indonesia juga banyak diadopsi sebagai kurikulum di universitas terkemuka seperti Al-Azhar. Sistem pendidikan yang dikembangkan ulama Indonesia juga menginspirasi lembaga pendidikan Islam di berbagai negara.
Bagaimana peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia? Ulama Indonesia berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan melalui fatwa jihad, pendirian organisasi keagamaan, dan partisipasi aktif dalam perumusan dasar negara. KH Hasyim Asy'ari, misalnya, mengeluarkan Resolusi Jihad yang membakar semangat perlawanan pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya